2. Setelah Petrus dan Paulus

Dari Pinggiran ke Pusat Dunia Romawi

Periode antara kematian Petrus dan toleransi agama Kristen oleh Kaisar Konstantinus pada tahun 313 sering direpresentasikan sebagai masa gereja yang murni, gereja dengan katakombe-katakombe, gereja dengan kesederhanaan yang agung, gereja di mana semua orang Kristen hidup tanpa cela dan siap mati demi iman mereka. Tidak diragukan lagi, ada banyak hal yang patut dikagumi dari orang-orang Kristen di abad-abad awal ini, tetapi mereka adalah umat manusia yang memiliki kesalahan-kesalahan, kegagalan-kegagalan, dan terkadang kelemahan-kelemahan yang parah.

45. Uskup, Imam, dan Diakon

Sakramen dan Peribadatan

Sakramen tahbisan suci diberikan dalam tiga tingkatan klerus: uskup, imam, dan diakon.

Para uskup (episcopoi) dapat mengurus beberapa jemaat—semua yang ada di kota atau wilayah tertentu—dan mengangkat, menahbiskan, dan mendisiplinkan para imam dan diakon. Mereka kadang-kadang disebut “penginjil / pemberita Injil” dalam Perjanjian Baru. Contoh uskup abad pertama termasuk Timotius dan Titus (1 Tim 5:19-22; 2 Tim 4:5; Tit 1:5).

Imam (presbuteroi) juga dikenal sebagai para “penatua” (presbiters atau elders). Sebenarnya, istilah bahasa Inggris “priest” hanyalah penyingkatan (contraction) dari kata Yunani presbuteros. Mereka memiliki tanggung jawab untuk mengajar, mengatur, dan menyajikan (provide; menyediakan, memberikan…red) sakramen-sakramen dalam jemaat-jemaat tertentu (1 Tim 5:17; Yak 5:14-15).

Diakon (diakonoi) membantu para uskup dan bertanggung jawab untuk mengajar dan melaksanakan tugas-tugas Gereja tertentu, seperti pembagian makanan (Kis 6:1-6).

30. Otoritas Paus

Gereja dan Paus

Para Bapa Gereja mengakui bahwa para penerus Petrus berbagi otoritas atau keunggulannya yang istimewa. Dalam berbagai cara, para Bapa membuktikan fakta bahwa gereja Roma adalah pusat, gereja yang otoritatif. Mereka mengandalkan Roma dalam meminta nasihat, untuk mediasi dalam perselisihan, dan untuk bimbingan sehubungan dengan masalah-masalah doktrinal. Mereka mencatat, seperti yang dilakukan St. Ignatius dari Antiokhia, bahwa Roma memegang “kepemimpinan” (presidency) di antara gereja-gereja lain, dan bahwa, seperti yang dijelaskan St. Irenaeus dari Lyons, “karena asalnya yang unggul, semua gereja harus setuju” dengan Roma. Para bapa Gereja juga dengan gamblang pada fakta bahwa persekutuan dengan Roma dan uskup Romalah yang menyebabkan seseorang berada dalam persekutuan dengan Gereja Katolik. Ini menunjukkan pengakuan bahwa, seperti yang dikatakan St. Siprianus dari Kartago, Roma adalah “gereja utama, di mana kesatuan keimamatan memiliki sumbernya.”

29. Para Penerus Petrus

Gereja dan Paus

Para Bapa Gereja mengakui Petrus sebagai batu karang yang di atasnya Yesus menyatakan bahwa Dia akan mendirikan Gereja-Nya; ini memberinya keunggulan khusus; dan dia pergi ke Roma, di mana dia menjadi martir. Dalam bab ini kita melihat bahwa para Bapa juga mengakui bahwa Petrus meninggalkan seorang penerus di Roma. Dengan demikian uskup Roma — paus — terus memenuhi peran Petrus dalam generasi Gereja berikutnya.

25. Suksesi Apostolik

Gereja dan Paus

Suksesi apostolik adalah garis para uskup yang membentang kembali ke para rasul. Suksesi berperan penting, salah satunya adalah menjaga Tradisi apostolik, seperti yang diungkapkan dalam instruksi St. Paulus kepada Timotius, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain” (2 Tim 2:2). Di sini [Paulus] mengacu pada empat generasi pertama dari suksesi kerasulan—generasinya sendiri, generasi Timotius, generasi yang akan diajar oleh Timotius, dan generasi yang pada gilirannya akan mereka ajar. Tentu saja, Paulus tidak membayangkan suksesi berakhir di sana tetapi terus berlanjut selama dunia akan berlangsung.

7.4. Suksesi dan Kepemimpinan Apostolik

imamat

Beberapa Protestan mengklaim bahwa “Gereja” hanyalah persatuan tak terlihat yang ada di antara semua orang Kristen yang dibaptis, dan tidak ada hierarki otoritatif yang terlihat. Di satu sisi, gereja yang tidak terlihat ini memang ada. Menurut Vatican’s Congregation for the Doctrine of the Faith (CDF), “Gereja Kristus hadir dan bekerja di gereja-gereja dan Komunitas gerejawi yang belum sepenuhnya bersatu dengan Gereja Katolik, karena unsur-unsur pengudusan dan kebenaran yang hadir di dalamnya”.1 Tetapi CDF juga menunjukkan bahwa

7.2. Pengampunan Dosa

imamat

Salah satu contoh dari sebuah “karakteristik imam” yang ditemukan dalam imamat pelayanan Kristus adalah memberikan pengampunan dosa. Imam-imam pelayanan dari Perjanjian Lama bertanggung jawab untuk mempersembahkan kurban yang menebus dosa-dosa umat. Pengorbanan itu, bagaimanapun, tidak efektif dalam dirinya sendiri (Ibr 10:4), tetapi dengan munculnya pengorbanan Kristus yang definitif, pengampunan yang dipersembahkan melalui pelayan-Nya menjadi efektif. Pengampunan ini dialami melalui apa yang disebut sakramen tobat atau pengakuan dosa.

5.7. Infalibilitas Kepausan

Kepausan

Doktrin infalibilitas kepausan mengajarkan bahwa paus memiliki rahmat khusus dari Allah yang melindunginya dari mengikat Gereja untuk mengimani kesalahan. Rahmat ini terkait dengan Rahmat umum yang Kristus berikan kepada Gereja yang mencegah seluruh dewan para uskup, serta umat beriman secara keseluruhan, agar tidak jatuh ke dalam kesalahan. Namun, untuk tujuan diskusi kita, kita hanya akan memeriksa aspek-aspek infalibilitas yang secara langsung berkaitan dengan jabatan kepausan. Katekismus menjelaskannya sebagai berikut:

5.5. Menentang Bukti Alkitab

Kepausan

Bahkan para kritikus kepausan mengakui bahwa perikop-perikop ini tampaknya mengajarkan doktrin itu. D. A. Carson mengatakan bahwa ketika teks Petrine dalam Yoh 21 dan Mat 16 digabungkan, “argumen [untuk primat Petrine] memperoleh suatu kemungkinan yang masuk akal”.1 Tentu saja, para sarjana ini menemukan sesuatu yang lain dalam Kitab Suci yang, menurut pendapat mereka, meniadakan konsep kepausan, jadi teks-teks itulah yang sekarang harus kita periksa.

4. Otoritas Tradisi Apostolik

Mengapa Itu Ada Dalam Tradisi?

Dengan semua bukti yang telah kita lihat sampai saat ini menunjukkan keaslian Tradisi Katolik — dengan melihat betapa tak terbantahkannya tradisi itu dalam Gereja mula-mula — kita tidak perlu banyak bicara untuk penjelasan tentang apa yang dipikirkan Gereja perdana tentang otoritas Tradisi Suci. Beberapa contoh pernyataan patristik beikut ini, yang diambil dari tujuh abad pertama Kekristenan, sudah cukup untuk membuktikan bahwa orang Kristen paling awal memandang (regarded; memperhatikan, mengharagai, menghormati, memperhitungkan…red) Tradisi Suci sebagai sesuatu yang otoritatif dan perlu. Tradisi, bagi orang Kristen awal sebagaimana juga sekarang bagi orang Kristen zaman modern, adalah cara Gereja untuk memastikan bahwa ajarannya sesuai dengan apa yang diajarkan Kristus dan para Rasul. Inilah sebabnya, ketika bidah seperti Arianisme muncul, yang menyangkal Trinitas dan keilahian Kristus, Gereja pada abad ketiga dan keempat dapat secara memadai menyangkal (adequately refute; menyanggah, membuktikan bahwa [itu] salah…red) klaim kitab suci kaum Arian. Sama seperti Saksi Yehova atau Mormon di zaman modern ini, kaum Arian hanya bisa mengutip Kitab Suci (di luar konteks dan tentu saja dengan interpretasi yang salah). Mereka tidak dapat merujuk (atau naik banding) pada sebuah Tradisi yang tak terputus dari interpretasi otentik dari bagian-bagian Kitab Suci itu. Namun, Gereja Katolik dapat melakukannya. Dan dengan rujukannya kepada otoritas Tradisi Apostolik, sebagai pernyataan persetujuan yang diperlukan untuk Kitab Suci, Gereja mampu menghadapi dan mengalahkan tantangan doktrinal yang diajukan oleh bidat seperti Arianisme, Nestorianisme, Monofisit, dan kelompok-kelompok lainnya yang menyimpang secara teologis.