35. Gereja berusaha memaksakan ajarannya pada masyarakat demokratis dengan memberi tahu anggotanya cara memberi suara

Dunia Modern

Pada usia lima puluh lima, Giovanni Mastai-Feretti terpilih sebagai paus pada tahun 1846, mengambil nama Pius IX. Dia adalah pria yang ramah dan bersahaja yang menyukai tembakau dan memiliki selera humor yang tinggi. Dia kelak memimpin sebagai paus selama tiga puluh dua tahun, pemerintahan kepausan terlama sejak St. Petrus. Sayangnya, gerakan revolusioner politik yang melanda Eropa pada tahun 1848 merusak kepausannya. Kerusuhan pecah di Roma, seperti di tempat lain, dan ancaman kekerasan yang terus berlanjut di Kota Abadi memaksa Pius IX untuk memindahkan kediamannya ke Napoli, di mana ia tinggal selama dua tahun. Dia mendesak para penguasa Katolik asing untuk memulihkan ketertiban dan Prancis mengirim pasukan ke Roma pada Juli 1849.1 Akhirnya, pergolakan menyebabkan penyatuan Italia dan hilangnya Negara-negara Kepausan (Papal States) pada tahun 1870. Berkurangnya kepemilikan tanah menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai Negara Kota Vatikan, Pius IX menyatakan dirinya sebagai “tahanan Vatikan” dan tidak pernah meninggalkannya lagi selama delapan tahun sisa masa kepausannya.

34. Gereja melarang pengontrol kelahiran untuk mengendalikan kehidupan wanita, dan untuk meningkatkan jumlah umat Katolik

Dunia Modern

Jika peristiwa sejarah seperti Perang Salib dan Inkuisisi telah menjadi sasaran kesalahpahaman dan bahkan distorsi besar oleh para anti-Katolik, padanannya dalam teologi moral adalah penentangan Gereja terhadap kontrasepsi. Pertama-tama, tidaklah benar bahwa Gereja menentang birth control itu sendiri; KB memungkinkan pasangan yang sudah menikah untuk menggunakan pantang berkala dari hubungan seksual untuk “mengurangi” anak-anak mereka atau bahkan membatasi jumlah mereka jika perlu, tetapi ada cara-cara moral untuk mencapai tujuan itu, yang dapat dipilih, dan cara yang tidak bermoral, yang tentu tidak bisa dipilih. Juga tidak benar bahwa Gereja melarang penggunaan kontrasepsi untuk meningkatkan jumlah [umat]nya.

33. Setelah Perang Dunia II, Gereja membantu para buronan Nazi lolos dari keadilan

Dunia Modern

“Bagaimana Gereja Katolik Melindungi Penjahat Perang Nazi”, teriak tajuk utama majalah Commentary edisi Desember 2011. Artikel tersebut, yang ditulis oleh Kevin J. Madigan, Profesor Winn of Ecclesiastical History di Universitas Harvard, menuduh bahwa Paus Pius XII dan “Vatikan” membantu dan bersekongkol dalam melarikan diri para penjahat perang Nazi dari keadilan setelah Perang Dunia Kedua. Madigan mendasarkan artikelnya pada “penelitian” dalam dua buku menarik yang diterbitkan awal tahun itu: Nazis on the Run: How Hitler’s Henchmen Fled Justice, oleh Gerald Steinacher; dan History vs. Apologetics: The Holocaust, the Third Reich, and the Catholic Church, oleh David Cymet. Kedua buku mengulangi narasi palsu usang yang sama bahwa Gereja Katolik yang jahat berusaha untuk menyelamatkan Nazi dari keadilan. Kebenarannya jauh lebih tidak menggoda dan karenanya membuat headline atau judul buku yang buruk.

32. Paus Pius XII tidak melakukan apa pun untuk membantu orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II

Dunia Modern

Klaim bahwa Paus Pius XII (memimpin Gereja tahun 1939–1958) berpangku tangan sementara orang-orang Yahudi dimusnahkan selama Perang Dunia Kedua adalah salah satu mitos anti-Katolik yang paling jahat dan menyesatkan. Tuduhan itu pertama kali dibuat hampir dua puluh tahun setelah perang di The Deputy, sebuah drama oleh mantan anggota Pemuda Hitler, Rolf Hochhuth.1 Lakon tersebut ditulis agar aktor yang sama dapat memerankan Pius XII dan tokoh fiktif Baron Rutta, karakter yang bertindak sebagai apologis atas kebijakan rezim ketiga (Third Reich); sehingga penonton diarahkan untuk melihat Pius sebagai kolaborator Nazi. Plot berpusat pada tindakan-tindakan fiksi Fr. Riccardo Fontana, seorang Yesuit muda idealis yang berdagang paspor dengan seorang Yahudi untuk membantunya melarikan diri dari Nazi—dimana Fr. Fontana ditangkap oleh Nazi dan dikirim ke kamp konsentrasi, di mana dia akhirnya ditembak. Sepanjang drama itu Fr. Fontana mengeluh keras dan sering tentang Paus Pius XII, seperti ketika dia berteriak, “Suaranya? Mana suaranya? Tidak melakukan apa-apa sama buruknya dengan ikut serta”; dan “Tuhan bisa memaafkan algojo untuk pekerjaan seperti itu, tetapi tidak dengan seorang imam, bahkan paus!”2

31. Pada abad kedua puluh, Gereja adalah alat sukarela para fasis

Dunia Modern

Abad kedua puluh adalah salah satu yang paling sulit bagi Gereja Katolik. Itu adalah periode transisi politik, penganiayaan yang intens, dan perubahan sosial yang sangat mempengaruhi kepatuhan dan praktik Iman oleh umat Katolik di seluruh dunia. Itu juga merupakan abad di mana para kritikus anti-Katolik mengklaim bahwa Gereja terlalu pasif dalam menghadapi rezim jahat (Nazi) atau sekutu sukarela mereka (pihak Nasionalis dalam Perang Saudara Spanyol). Ideologi-ideologi jahat yang lahir pada abad kedua puluh tampak berbeda di permukaan tetapi pada kenyataannya pada dasarnya serupa. Fasisme, Sosialisme Nasional, dan Komunisme semuanya berkembang selama atau segera setelah Perang Dunia Pertama (1914–1918). Meskipun masing-masing menganut kebijakan politik yang berbeda, mereka sepakat bahwa individu harus tunduk pada kehendak negara, dan bahwa Gereja Katolik harus ditekan; mereka juga menyebabkan kematian dan kehancuran dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Revolusi Bolshevik membawa pemerintahan totaliter, ateis, anti-Katolik di Rusia pada tahun 1917; Partai Fasis yang dipimpin oleh Benito Mussolini memperoleh kekuasaan di Italia pada tahun 1922; dan Sosialis Nasional di bawah Adolf Hitler mengambil alih Jerman pada tahun 1933. Ketiga negara ini juga memainkan peran utama dalam Perang Saudara Spanyol yang berdarah.