21. Mawar Baru

Renaisans dan Reformasi

Roma yang baru? Tentu saja, tidak sepenuhnya baru, bukan Roma “kota abadi”, di mana sisa-sisa era demi era dari sejarahnya yang panjang dapat dilihat oleh para pengunjung biasa bahkan hingga hari ini. Namun yang pasti, sebuah era baru telah dimulai sejak [Paus] Paulus III naik tahta pada tahun 1534, dan sekarang, setelah Konsili Trente, kepausan yang baru mulai mengambil bentuk yang lebih jelas, yang berdampak pada budaya kota. Era ini menandai awal pembentukan kepausan modern, di mana fungsi-fungsi baru, tanggung jawab baru, lembaga-lembaga baru namun berkarakter, dan bahkan cita-cita baru muncul dengan menonjol dan kuat.

Kehidupan pribadi yang saleh sekarang menjadi cita-cita yang ingin diproyeksikan oleh para uskup, termasuk para paus. Menjadi ayah dari anak-anak yang tidak sah mulai menghalangi kemajuan dalam karier gerejawi dan, tentu saja, jika anak-anak itu memiliki ayah, mereka tidak diakui secara publik dan dikasihi. Sebagai seorang pemuda, di masa mendatang Gregorius XIII memiliki seorang anak, tetapi kehidupan teladannya setelah ditahbiskan membuat perbuatan kurang ajar di masa mudanya dapat ditoleransi.

Bagi para paus, implementasi Trente menjadi bagian yang berkelanjutan dari deskripsi tugas mereka, di mana mereka sekarang memiliki sebuah Kongregasi untuk membantu mereka. Dalam tugas ini mereka menghadapi persaingan. Trente mencoba yang terbaik untuk memperkuat otoritas para uskup, dan setelah itu muncullah generasi uskup yang kuat, yang dipimpin oleh Charles Borromeus (Charles Borromeo / Karolus Borromeus). St. Karolus, dan juga para uskup lainnya, melihat bahwa pelaksanaan konsili merupakan tanggung jawab uskup setempat, sebuah pandangan yang terkadang membuat mereka bertentangan dengan Roma. Konsili, dalam salah satu tindakan terakhirnya, mengingatkan para “pangeran” akan kewajiban mereka untuk menaati peraturan konsili dan memastikan bahwa rakyat mereka juga melakukan hal yang sama. Seruan ini merupakan jaminan bagi “para pangeran” untuk mengklaim peran tradisional mereka sebagai penegak keputusan konsili. Tidak ada yang lebih bersemangat untuk menjalankan peran tersebut selain Philip II. Penafsiran dan pelaksanaan konsili, di kemudian hari, sering kali membawa ketiga otoritas ini ke dalam konflik satu sama lain, dan dalam konflik-konflik tersebut, para paus tidak selalu muncul sebagai pemenang.

Implementasi konsili ini berarti bahwa para paus memiliki pengawasan yang lebih ketat terhadap para uskup, meskipun dalam banyak kasus, mereka tidak banyak bicara tentang siapa yang menjadi uskup. Hal ini berarti setidaknya berhati-hati dalam memberikan dispensasi, terutama jika ada biaya yang melekat pada transaksi tersebut. Hal ini bahkan berarti menghindari sejauh mungkin kesan adanya sifat-sifat yang tidak terpuji. Itu berarti bahwa Roma sendiri, kota kepausan, harus menjadi kota yang teratur, indah dan, terutama, kota orang-orang kudus – sebuah kota Katolik yang setara dengan orang-orang kudus di Jenewa yang menganut Kalvinisme.[1] Roma menggali kembali warisan kesuciannya yang lama untuk memanfaatkannya dan kemudian membawanya ke masa kini dengan orang-orang kudus di masa kini.

Bahkan ketika Roma dan Negara-negara Kepausan menikmati stabilitas dan keamanan yang baru, beberapa bagian Eropa terkoyak selama satu abad oleh “perang saudara”, yang dimulai dengan perang antara Charles V dan Liga Schmalkaldik (Schmalkaldic League) pada tahun 1546 dan diakhiri dengan Perjanjian Westfalen (Treaty of Westphalia / Peace of Westphalia) pada tahun 1648 yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun [baca juga DI SINI]. Di antaranya adalah Perang Agama yang kejam di Prancis selama hampir tiga dekade yang dimulai pada tahun 1562, dan Perang Saudara Inggris, yang juga berakhir pada tahun 1648. Turki terus menjadi ancaman militer dan angkatan laut yang serius. Agama adalah payung di mana semua perang ini seolah-olah diperjuangkan, tetapi dominasi dinasti dan politik sering kali merupakan realitas yang ditutupi oleh payung tersebut. Para paus tidak berdiri sendiri dalam konflik-konflik ini, tetapi memberikan dukungan kuat dalam bentuk tenaga dan uang kepada tentara yang berjuang untuk tujuan Katolik.

Dengan Pius V, penerus Pius IV, pendulum kepausan berayun lagi ke arah yang berlawanan. Orang tua Michele Ghislieri (Antonio Ghislieri), calon Pius V, adalah petani kaya. Pada usia dini, anak laki-laki berbakat ini masuk ke dalam ordo Dominikan dan naik pangkat. Pada tahun 1551, ia menarik perhatian Gian Pietro Carafa, yang pada tahun 1551 memberinya jabatan sebagai Komisaris Jenderal pada Inkuisisi Romawi, sebuah jabatan yang membuat Ghislieri merasa nyaman. Ketika Carafa menjadi Paulus IV, ia terus memandang Ghislieri sebagai anak didiknya. Selama kepausan Pius IV yang lebih toleran, Ghislieri tidak banyak bicara, yang membuat pemilihannya setelah konklaf selama sembilan belas hari menjadi lebih mengejutkan. Semangat, kesungguhan, dan reputasinya yang tidak tercela setidaknya sebagian menjadi penyebab pemilihannya.

Tujuan utamanya sebagai paus adalah untuk melaksanakan reformasi di setiap bidang, dimulai dari Roma sendiri. Ia melakukan kunjungan resmi ke basilika-basilika besar di kota itu, membentuk sebuah komisi untuk melakukan hal yang sama untuk paroki-paroki di Roma dan Negara-negara Kepausan, dan memastikan bahwa para bapa pengakuan dosa dan para kandidat yang hendak ditahbiskan diperiksa dengan cermat. Ia juga mengurangi ukuran istana kepausan dan mencoba mengurangi pengeluarannya. Bahkan sebagai paus, ia hidup sebagai seorang biarawan Dominikan yang keras dan, seperti yang sering dikatakan tentang dirinya, merupakan paus pertama pada masa itu yang memproyeksikan citra dirinya sebagai seorang imam dan bukan sebagai penguasa.

Ia memenuhi mandat Konsili Trente dengan menerbitkan Katekismus Roma (Roman Catechism), yang dimaksudkan sebagai buku pegangan bagi para pastor, yang jauh lebih luas dalam penjelasannya dibandingkan dengan buku-buku kecil untuk kaum awam yang sekarang beredar di mana-mana. Juga sesuai dengan Trente, ia merevisi Missal Romawi (Roman Missal) dan Brevir untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan tulis bahasa Latin yang buruk, dan kemubaziran-kemubaziran yang telah merayap masuk ke dalamnya, sebuah tindakan yang untuk pertama kalinya menempatkan reformasi liturgi secara tegas di tangan kepausan.

Dia menyatakan Thomas Aquinas sebagai doktor gereja, yang merupakan tindakan pertama dalam sejarah. Hingga saat itu hanya ada empat doktor gereja Barat yang diakui-Ambrosius, Jerome, Agustinus, dan Gregorius Agung. Satu milenium setelah keempatnya hidup, Pius menempatkan Aquinas pada level yang sama. Tindakannya ini mendorong kebangkitan minat terhadap Aquinas yang telah berlangsung selama satu abad. Keberuntungan Aquinas memudar pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, hanya untuk kemudian dihidupkan kembali menjadi ciri khas agama Katolikisme.

Modelnya sebagai paus adalah pelindungnya, Paulus IV. Meskipun Pius mengizinkan beberapa orang Yahudi untuk tetap tinggal di ghetto Roma dan Ancona, ia mengusir yang lain dari Negara Kepausan. Dia melarang para pelacur dari Roma. Seperti Paulus, meskipun tidak terlalu obsesif, ia membasmi bid’ah dengan semangat yang hampir sembrono dan menghadiri pertemuan-pertemuan Inkuisisi Romawi. Di bawah kepemimpinannya, jumlah orang yang dituduh dan dijatuhi hukuman melonjak. Bersama-sama dengan Kongregasi Inkuisisi (Congregation of the Inquisition), ia mendirikan Kongregasi Indeks (Congregation of the Index), yang berfungsi untuk memeriksa para penulis dan penerbit untuk menentukan ortodoksi mereka. Indeks kemudian menjadi aspek yang berkelanjutan dalam kehidupan Katolik. Inkuisisi ini baru dihapuskan pada tahun 1966.

Di kancah internasional, sikap keras kepala dan agresifnya terhadap hak-hak dan keistimewaan gereja tidak disukai oleh para raja. Pada tahun 1570, meskipun dinasihati untuk tidak melakukannya, ia mengekskomunikasi dan, barangkali, menggulingkan Elizabeth dari Inggris, ekskomunikasi terakhir terhadap monarki yang berkuasa yang diucapkan oleh seorang paus. Era deposisi kepausan, yang dimulai dengan Gregorius VII, telah berlalu. Dalam kasus ini, seperti dalam banyak kasus lainnya, ekskomunikasi itu kontraproduktif. Hal itu memaksa umat Katolik Inggris untuk memilih antara agama dan negara mereka dan menyebabkan penganiayaan yang pahit.

Kemenangan terbesarnya, meskipun hanya sesaat, dalam politik Eropa adalah keberhasilannya menggalang Spanyol dan Republik Venesia untuk bergabung dengannya dalam Liga Suci melawan Turki. Pada tanggal 7 Oktober 1571, pasukan Liga di bawah pimpinan Don Juan dari Austria (John of Austria), saudara tiri Philip II yang tidak sah, meraih kemenangan gemilang di Lepanto atas pasukan Turki, yang untuk sementara waktu mengakhiri dominasi Turki di Mediterania. Untuk merayakan peristiwa tersebut, Pius menciptakan pesta Bunda Maria Kemenangan (Our Lady of Victory), yang kemudian menjadi Hari Raya Bunda Maria Ratu Rosario, 7 Oktober. Meskipun rosario adalah bentuk doa yang telah lama dipromosikan oleh para Dominikan dengan keberhasilan yang cukup besar, penciptaan pesta oleh Pius dan hubungannya dengan Lepanto memberikan dorongan terhadap Rosario dan meningkatkan daya tariknya, membuatnya dengan cepat menjadi bakti yang paling dicintai oleh umat Katolik Roma dan paling dicintai oleh mereka di era modern. Pius wafat pada tahun berikutnya, 1572, sekitar enam bulan setelah Lepanto. Dia dikanonisasi pada tahun 1712, satu-satunya paus dari era tersebut yang dihormati.

Penggantinya, Gregorius XIII, agak lebih bersedia untuk melakukan kompromi daripada Pius, namun tetap memiliki semangat pendahulunya untuk ortodoksi dan untuk mempromosikan dekrit Trente. Dia lebih militan dalam arti harfiah karena dia bahkan lebih aktif mendukung dan mendorong penggunaan kekuatan untuk memulihkan atau mempertahankan Katolikisme di berbagai bagian Eropa. Ia mendesak Philip II untuk menyerang Inggris, mendukung kampanye militer Philip di Low Countries, memberikan subsidi kepada Liga Katolik di Prancis dalam kampanye militernya melawan Huguenot, dan terlibat di tempat lain dalam usaha yang sama. Tidak ada satu tindakan pun yang lebih jelas menunjukkan prioritasnya selain memerintahkan pada tahun 1572 untuk menyanyikan lagu Te Deum sebagai ucapan syukur atas Pembantaian Hari Santo Bartolomeus (St. Bartholomew’s Day Massacre) di mana ribuan orang Huguenot Prancis dibantai.

Sampai ia ditahbiskan pada usia empat puluh tahun, Ugo Boncompagni [nama asli Paus] secara khusus tidak menjalani kehidupan pertapa. Lahir dari keluarga sederhana di Bologna, ia berhasil masuk ke dalam masyarakat melalui bakat dan prestasinya, bukan karena kelahiran. Bahkan sebagai seorang pemuda, ia sangat dihormati karena keahlian hukum dan keterampilan administrasinya. Setelah menjadi uskup, ia menghadiri periode terakhir Konsili Trente. Ia memainkan peran penting dalam menyusun beberapa keputusan konsili, yang mengintensifkan perhatiannya sebagai paus untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan tersebut dilaksanakan dengan baik. Setelah konsili, Pius IV mempercayakannya dengan misi diplomatik yang penting ke Spanyol, di mana ia memenangkan kepercayaan Philip II.

Dua minggu setelah kematian Pius V, Boncompagni terpilih sebagai paus dalam sebuah konklaf yang berlangsung kurang dari dua puluh empat jam. Konklaf yang hampir tidak pernah terjadi sebelumnya membuktikan rasa hormat dan kepercayaan yang ia nikmati di antara rekan-rekannya, tetapi memiliki dukungan kuat dari Philip II tidak melukainya. Usaha-usahanya di bidang politik internasional tidak lebih sukses daripada Pius, tetapi tidak ditandai dengan kesalahan-kesalahan besar. Pencapaiannya terletak pada bidang-bidang lain, dimulai dengan reformasi kalender pada tahun 1582 (Kalender Gregorian [red]). Komisi yang ditugasi dengan tugas ini hanya bekerja selama sepuluh hari (5-14 Oktober 1582) dan menghasilkan aturan baru untuk tahun kabisat yang mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam Kalender Julian yang lama. Kalender baru ini, yang digunakan di seluruh dunia saat ini, segera diadopsi oleh negara-negara Katolik tetapi ditolak di tempat lain. Kalender ini tidak diadopsi oleh Inggris dan koloni-koloni Amerika hingga tahun 1752, oleh Rusia hingga tahun 1918, dan oleh Yunani hingga tahun 1923.

… halaman berikut


[1] Kalvinisme – Cabang Protestantisme yang didirikan oleh Johanes Kalvin dari Swis. Dalam Gereja-gereja ini teologi Kalvin mempunyai pengaruh yang sangat besar, meskipun teorinya mengenai predestinasi ganda sudah diubah. Ciri-ciri teologinya adalah kesatuan antara PL dan PB, tekanan pada kekuasaan Allah, predestinasi orang-orang terpilih entah untuk menerima kemuliaan surga atau hukuman neraka, dan Gereja sebagai komunitas yang hidupnya tersusun rapi dalam kesetiakawanan. Gerald O’Collins, SJ., dan Edward G. Farrugia, SJ., Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta, 1996, h. 126.

Leave a comment