17. Perang Salib adalah alasan permusuhan Islam modern terhadap Barat

Perang Salib

Dua bulan setelah 9/11 (peristiwa WTC…red), mantan presiden Bill Clinton memberikan pidato di Universitas Georgetown di mana dia mencoba menjawab pertanyaan terpenting di benak orang: Mengapa mereka menyerang kami? Asal usul kebencian teroris, menurutnya, terletak pada Perang Salib, khususnya “pembantaian” Tentara Salib terhadap penduduk Yerusalem selama Perang Salib Pertama.[1] “Kami yang berasal dari berbagai garis keturunan Eropa bukannya tidak bersalah”, kata Clinton. “Saya beri tahu Anda bahwa cerita [pembantaian] itu masih diceritakan hingga hari ini di Timur Tengah, dan kami masih membayarnya” (and we are still paying for it; mungkin juga maksudnya ‘masih menanggung akibatnya, atau bertanggung jawab akan hal itu’…red).[2]

16. Budaya Islam abad pertengahan jauh lebih unggul dari budaya Katolik Eropa

Perang Salib

Orang Kristen abad keenam yang tinggal di Mesopotamia yang menggambarkan orang Arab sebagai “yang paling takhayul dan bodoh di seluruh dunia” akan tercengang ketika mengetahui banyak orang modern percaya bahwa justru orang-orang Arab menghasilkan budaya yang jauh lebih unggul daripada orang-orang Katolik Eropa.[1] Sebelum kebangkitan Islam, Jazirah Arab berisi beragam suku nomaden yang politeis kafir. Bangsa Romawi (dan lainnya) membenci orang Arab bukan karena paganisme mereka, tetapi karena mereka adalah “orang kafir yang tinggal di tenda-tenda”.[2] Prajurit-nabi Islam, Muhammad, berhasil menyatukan suku-suku Arab di bawah payung agama barunya, Islam, dan para pasukan Muslim terus mengamuk melalui Afrika Utara, Tanah Suci, Suriah, Turki modern, dan bahkan ke Prancis setelah kematian Muhammad pada tahun 632. Menariknya, bangsa Arab penakluk ini tidak meninggalkan satu pun catatan tertulis tentang prestasi-prestasi militer mereka yang mengesankan. Namun terlepas dari ini, para pejuang nomaden dan buta huruf ini konon membangun peradaban yang luas dan kaya jauh lebih unggul dari peradaban Katolik Eropa.[3]

15. Para tentara Salib termotivasi oleh keserakahan

Perang Salib

Mungkin mitos yang paling gigih tentang Perang Salib adalah bahwa Perang Salib diluncurkan untuk memuaskan keserakahan orang-orang Eropa akan tanah dan harta. Asal muasal mitos tersebut dapat ditelusuri ke abad kesebelas pada masa Perang Salib Pertama, ketika Anna Comnena, putri remaja kaisar Bizantium Alexius I, menyaksikan para Tentara Salib datang dari Barat ke Konstantinopel. Puluhan tahun kemudian, dalam sebuah buku yang dia tulis tentang pemerintahan ayahnya, Alexiad, dia menggambarkan (secara keliru) apa yang dianggapnya sebagai motivasi para Tentara Salib: “[para] kesatria berangkat demi menjadi lebih kaya, sementara orang miskin ingin menyelamatkan jiwa mereka”.[1] Dia juga berpendapat bahwa tujuan utama Perang Salib Pertama adalah untuk merebut Konstantinopel, bukan untuk membebaskan Yerusalem.

14. Gereja menyerukan Perang Salib untuk membantai kaum Muslim

Perang Salib

Ada banyak mitos tentang Perang Salib, tetapi salah satu yang paling bertahan, terutama di media, adalah gagasan bahwa Perang Salib adalah perang-perang ofensif penaklukan dan penghancuran yang dilancarkan terhadap peradaban Muslim yang damai, toleran, dan cerah — menggambarkan kemunafikan sebuah Gereja yang didirikan oleh Pangeran Pembawa Damai yang terlibat dalam perang “suci”. Kepalsuan ini berasal dari tulisan-tulisan kaum revolusioner Protestan, terutama Martin Luther, yang memandang Perang Salib sebagai sarana yang digunakan Antikristus (sri paus) untuk menambah kekayaan Gereja. Para pemikir Pencerahan seperti Voltaire dan Edward Gibbon memandang Perang Salib sebagai usaha-usaha pemborosan dari Gereja yang haus kekuasaan yang melemahkan vitalitas dan sumber daya Eropa.[1] Dalam pandangan mereka, para Tentara Salib adalah penjahat-penjahat bodoh dan penuh takhayul yang dimanipulasi oleh paus.[2]