23. Tradisi Apostolik

Sumber Iman

Dalam bab 2, kita melihat peran Tradisi dalam iman Kristiani. Bertentangan dengan pandangan dalam komunitas Protestan, kita tidak dimaksudkan untuk melihat ke “Kitab Suci saja.” Sementara kita harus berhati-hati terhadap tradisi manusia belaka, Alkitab berisi banyak referensi tentang rasa hormat yang harus kita berikan kepada Tradisi apostolik.

17. Keilahian Kristus

Tuhan

Kesalahan lain mengenai Trinitas muncul pada tahun 300-an, ketika seorang imam bernama Arius menyatakan bahwa Yesus sebenarnya bukan Tuhan tetapi adalah makhluk ciptaan — yang pertama dari semua makhluk ciptaan. Kontroversi selanjutnya mengarah pada konsili ekumenis pertama — Nicaea I pada tahun 325 — yang secara definitif mengajarkan bahwa Kristus adalah Allah dan yang menulis dua bagian pertama Pengakuan Iman Nicea.

9. Kenali Bapa-bapamu

ad fontes

Seruan “Ad fontes!” (Lat. “[kembali] ke sumber!”) telah digunakan dalam berbagai konteks di zaman Renaisans, Reformasi, dan oleh tokoh-tokoh Katolik seperti Erasmus dari Rotterdam.

5. Tanah Suci Kedua

Dunia para Bapa

Di zaman para Bapa, komunitas Kristen begitu aktif di tempat yang sekarang disebut Turki sehingga kadang-kadang disebut “tanah suci kedua.”

3.5. Bapa-bapa Gereja Pra-Nicea (90 M—325 M)

Kanon Perjanjian Lama

Para apologis Protestan biasanya mengatakan sejumlah besar Bapa Gereja menolak kitab-kitab deuterokanonika, sehingga orang Kristen modern berhak untuk meragukan validitas kitab-kitab ini. Dari orang-orang Kristen yang menulis sebelum Konsili Nicea, biasanya dua yang disebutkan: Melito, uskup Sardis (sebuah kota yang sekarang terletak di Turki barat saat ini), dan Origenes.

4. Otoritas Tradisi Apostolik

Mengapa Itu Ada Dalam Tradisi?

Dengan semua bukti yang telah kita lihat sampai saat ini menunjukkan keaslian Tradisi Katolik — dengan melihat betapa tak terbantahkannya tradisi itu dalam Gereja mula-mula — kita tidak perlu banyak bicara untuk penjelasan tentang apa yang dipikirkan Gereja perdana tentang otoritas Tradisi Suci. Beberapa contoh pernyataan patristik beikut ini, yang diambil dari tujuh abad pertama Kekristenan, sudah cukup untuk membuktikan bahwa orang Kristen paling awal memandang (regarded; memperhatikan, mengharagai, menghormati, memperhitungkan…red) Tradisi Suci sebagai sesuatu yang otoritatif dan perlu. Tradisi, bagi orang Kristen awal sebagaimana juga sekarang bagi orang Kristen zaman modern, adalah cara Gereja untuk memastikan bahwa ajarannya sesuai dengan apa yang diajarkan Kristus dan para Rasul. Inilah sebabnya, ketika bidah seperti Arianisme muncul, yang menyangkal Trinitas dan keilahian Kristus, Gereja pada abad ketiga dan keempat dapat secara memadai menyangkal (adequately refute; menyanggah, membuktikan bahwa [itu] salah…red) klaim kitab suci kaum Arian. Sama seperti Saksi Yehova atau Mormon di zaman modern ini, kaum Arian hanya bisa mengutip Kitab Suci (di luar konteks dan tentu saja dengan interpretasi yang salah). Mereka tidak dapat merujuk (atau naik banding) pada sebuah Tradisi yang tak terputus dari interpretasi otentik dari bagian-bagian Kitab Suci itu. Namun, Gereja Katolik dapat melakukannya. Dan dengan rujukannya kepada otoritas Tradisi Apostolik, sebagai pernyataan persetujuan yang diperlukan untuk Kitab Suci, Gereja mampu menghadapi dan mengalahkan tantangan doktrinal yang diajukan oleh bidat seperti Arianisme, Nestorianisme, Monofisit, dan kelompok-kelompok lainnya yang menyimpang secara teologis.

31. Ziarah

Kebiasaan Orang Katolik

Ziarah adalah bagian penting dari kehidupan religius Yesus. Jantung Yudaisme kuno adalah kultus pengorbanan Bait Suci Yerusalem. Tidak ada kuil lain, karena tidak mungkin ada dewa lain. Karena Tuhan itu satu, maka Dia hanya memiliki satu kota suci, tempat dia memanggil umat-Nya untuk berziarah: “Tiga kali setahun setiap orang laki-laki di antaramu harus menghadap hadirat TUHAN, Allahmu, ke tempat yang akan dipilih-Nya, yakni pada hari raya Roti Tidak Beragi, pada hari raya Tujuh Minggu dan pada hari raya Pondok Daun” (Ul 16:16; lih. juga Kel 23:17). Maria dan Yusuf memenuhi perintah ini setiap tahun. Satu-satunya pandangan sekilas yang kita miliki tentang masa kanak-kanak Yesus adalah kisah ziarah Keluarga Kudus ke Yerusalem ketika Yesus berusia dua belas tahun. Dia tetap setia pada kewajiban selama masa dewasanya, dan para penginjil secara teratur menunjukkan bahwa Ia berangkat “ke Yerusalem” untuk hari raya (lih. Yoh 2:13, 5:1). Bahkan St. Paulus melakukan perjalanan-perjalanan yang diperlukan, dan bahkan setelah pertobatannya: “Paulus telah memutuskan untuk tidak singgah di Efesus . . .Sebab ia buru-buru, agar jika mungkin, ia telah berada di Yerusalem pada hari raya Pentakosta” (Kis 20:16).