55. Para sejarawan Katolik tidak dapat dipercaya karena iman mereka berkompromi dengan objektivitas mereka

a Mixed Bag

Peradaban modern menderita “krisis kebenaran [yang] berakar pada krisis ingatan”.1 Di antara manifestasi-manifestasinya adalah sejumlah mitos dan kebohongan tentang Gereja Katolik, seperti yang dibahas dalam buku ini. Para sejarawan Katolik bekerja dengan rajin untuk menyangkal kebohongan-kebohongan ini dengan sejarah otentik yang berakar pada keilmuan yang luar biasa, tetapi terlalu sering pekerjaan mereka diabaikan sebagai propaganda pro-Gereja. Sayangnya, bahkan beberapa cendekiawan Katolik menganut bias sekularis ini dan, sebagai akibatnya, menjadi mangsa beberapa narasi palsu tentang sejarah Katolik.2

54. Dugaan ‘Mukjizat Matahari’ di Fátima, Portugal, pada tahun 1917, sebenarnya adalah delusi massal

a Mixed Bag

Meragukan mukjizat-mukjizat bukanlah hal baru. Selama lebih dari 2.000 tahun, para skeptis telah mencoba untuk menjelaskan unsur-unsur supernatural dari iman Kristen, terutama kebangkitan Tuhan Yesus dari kematian pada Paskah pagi pertama itu. Dengan munculnya Modernisme—“sintesis dari semua ajaran sesat”, menurut Paus St. Pius X (memimpin Gereja tahun 1903–1914)—para kritikus Gereja telah mencari penjelasan “alamiah” untuk peristiwa-peristiwa ajaib, terutama penampakan-penampakan Santa Perawan Maria. Mungkin mengejutkan beberapa pencela ini untuk mengetahui bahwa Gereja sendiri menanggapi klaim-klaim peristiwa ajaib secara skeptis, itulah sebabnya mengapa Gereja menyelidiki secara menyeluruh semua klaim tersebut, memanfaatkan metode-metode ilmiah dan para peneliti independen. Hanya dalam kasus yang jarang terjadi, Gereja pada akhirnya akan menyatakan suatu peristiwa supernatural “layak untuk dipercaya”.1 Di antara kasus-kasus ini adalah beberapa penampakan Maria yang dilaporkan selama seratus tahun dari tahun 1830 hingga 1930, atau yang disebut Marian Century.2

53. Marie Antoinette adalah ratu Katolik yang egois dan merosot martabatnya yang tanpa perasaan menyuruh rakyatnya yang kelaparan untuk ‘makan kue’

a Mixed Bag

Pada akhir abad kedelapan belas Gereja Katolik di Prancis tampil percaya diri. Negara itu 98 persen Katolik. Gereja diorganisir ke dalam 139 keuskupan, dengan 40.000 paroki yang dikelola oleh 128.000 imam dan religius perempuan. Itu 10 persen dari tanah di Prancis.1 Adapun Prancis sendiri adalah salah satu negara paling kuat di dunia. Saingan lamanya, Inggris, memiliki angkatan laut yang tangguh tetapi baru saja menderita kekalahan besar dalam Perang Kemerdekaan Amerika, sebagian berkat bantuan militer Prancis ke koloni-koloni. Pada umumnya, bangsa dan Gereja tampak stabil; sedikit yang akan menduga akhir dari monarki maupun Gereja di Prancis pada akhir abad ini.

52. Ajaran Gereja tentang homoseksualitas telah berubah, karena dulu ada ritus pernikahan Katolik untuk pasangan sesama jenis

a Mixed Bag

Buku-buku John Boswell menyebabkan kehebohan di akhir abad kedua puluh.1 Seorang profesor sejarah di Universitas Yale, Boswell (1947–1994) menganggap dirinya Katolik tetapi tidak setuju dengan ajaran Gereja di bidang seksualitas manusia. Tujuan khususnya adalah untuk membuktikan bahwa Gereja mula-mula menganut sikap permisif Romawi terhadap homoseksualitas, dan tidak mengutuk sodomi sampai abad keempat belas.2 Dalam bukunya Same-Sex Unions in Pre-modern Europe (1994), Boswell berpendapat bahwa ritual Gereja Timur yang dikenal sebagai “brother-making” (Yunani; adelphopoiesis) sebenarnya adalah upacara pernikahan homoseksual. Boswell menyertakan sebuah ritus pernikahan homoseksual yang “dipulihkan” (restored; atau diperbarui…red) dalam bukunya dengan harapan bisa digunakan setelah Gereja mengubah ajarannya tentang pernikahan.

51. Gereja biasanya menyetujui atau setidaknya mentolerir perbudakan

a Mixed Bag

Mengomentari dokumen Paus Leo XIII tahun 1888 tentang perbudakan, John Francis Maxwell berpendapat, “Jelas, ini sudah terlambat sekitar 100 tahun untuk dapat bernilai efektif dalam kampanye antiperbudakan dan perang saudara dan revolusi abad kesembilan belas; kaum reformis dan abolisionis awam telah memenangkan kampanye mereka tanpa banyak bantuan efektif atau kepemimpinan moral dari otoritas pengajaran Gereja Katolik”.1 Hampir dua puluh tahun setelah buku Maxwell yang sangat berpengaruh, komentator lain menggemakan tulisannya: “Hanya setelah budaya Eropa dan Amerika berubah melalui agen abolisionis dan hanya setelah hukum setiap negara beradab menghilangkan praktik tersebut, [barulah] doktrin moral Katolik dengan tegas menolak perbudakan sebagai tidak bermoral”.2

50. Gereja memiliki sejarah anti-Semitisme yang panjang dan buruk

a Mixed Bag

Keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Gereja Katolik selalu mengakui kebenaran ini. Sayangnya, beberapa umat Katolik kadang-kadang menganggap penolakan Kristus oleh orang-orang Yahudi pada masanya sebagai pembenaran untuk menganiaya atau mendiskriminasi keturunan mereka. Tetapi perilaku seperti itu tidak pernah didukung atau didorong oleh Gereja, dan jauh dari tindakan kasih yang tak terhitung jumlahnya yang ditunjukkan kepada orang Yahudi oleh umat Katolik selama sejarah Gereja. Gereja tidak lupa bahwa Yesus, Perawan Maria yang Terberkati, dan semua rasul adalah orang Yahudi. Terseraknya orang-orang Yahudi di dunia kuno sangat penting untuk penyebaran Iman: Ada “koloni-koloni” Yahudi di mana-mana di Kekaisaran Romawi di mana St. Paulus, khususnya, melakukan perjalanan untuk menyebarkan Injil.

49. Organisasi-organisasi bayangan seperti para Ksatria Templar dan Opus Dei pada berbagai waktu diam-diam mengendalikan Gereja

a Mixed Bag

Para ahli teori konspirasi telah menyerang Gereja selama berabad-abad, tetapi khususnya dua organisasi Katolik telah menanggung beban terberat mereka: para Ksatria Templar dan Opus Dei. Para pembuat film dan novelis menyamar sebagai sejarawan (seperti Dan Brown, penulis The Da Vinci Code) menggambarkan [organisasi-organisasi Katolik] sebagai rahasia dan jahat, bertekad mengendalikan Gereja dan kepausan dengan mengumpulkan kekayaan besar. Karena banyak umat Katolik belum pernah mendengar tentang organisasi-organisasi ini, mereka bingung bagaimana membela Gereja dari fitnah-fitnah ini.

48. Gereja Menindas (dan Selalu Menindas) Kaum Perempuan

a Mixed Bag

Sungguh ironi yang menyedihkan bahwa organisasi yang telah berbuat paling banyak untuk melindungi, mengangkat, dan memuliakan martabat unik kaum perempuan diserang karena merendahkan dan menindas mereka. Feminis anti-Katolik menggambarkan Gereja sebagai konspirasi kaum pria yang cemas yang menundukkan kaum wanita baik secara langsung dengan mengecualikan mereka dalam posisi kekuasaan gerejawi atau secara tidak langsung dengan mendukung sebuah lembaga patriarkhal. Meskipun tidak ada keraguan bahwa diskriminasi dan penindasan nyata terhadap perempuan telah terjadi di beberapa lembaga, dulu dan sekarang, tinjauan catatan sejarah mengungkapkan bahwa Gereja telah menjadi sahabat terbesar bagi kaum perempuan yang pernah mereka miliki.

47. Pelecehan seksual adalah masalah yang meluas di kalangan klerus Katolik, mungkin karena kewajiban selibat

a Mixed Bag

Buku-buku dapat secara signifikan mempengaruhi budaya. Karya Alfred Kinsey; Sexual Behavior in the Human Male, yang diterbitkan pada tahun 1948, adalah salah satu buku tersebut. Tesisnya adalah bahwa moralitas seksual Yahudi-Kristen tidak wajar dan represif. Seorang Darwinis, Kinsey (1894–1956) memandang pribadi manusia bagaikan binatang yang seharusnya tidak kurang dibatasi dalam perilaku seksualnya daripada binatang lainnya. Oleh karena itu, buku Kinsey adalah seruan keras untuk pemberantasan semua batasan moral pada perilaku seksual manusia. Bahkan, “itu menghapus setiap batas moral seksualitas dengan begitu banyaknya bagan-bagan, grafik-grafik, dan istilah-istilah teknis”;1 dan dengan demikian meletakkan dasar bagi Revolusi Seksual tahun 1960-an, yang kelak mengguncang peradaban Barat sampai ke intinya.

46. Gereja Katolik bertanggung jawab atas lebih banyak perang daripada apa pun dalam sejarah

a Mixed Bag

Pembawa acara televisi Bill Maher, seseorang yang menggambarkan sendiri dirinya sebagai “apateis” (kombinasi antara apatis dan ateis), menjadi berita utama pada tahun 2014 dengan menyebut Tuhan sebagai “psikopat pembunuh massal”.1 Meskipun komedian itu dikritik habis-habisan atas pernyataannya yang ofensif itu, ia secara akurat mewakili apa yang diyakini oleh banyak humanis sekuler: bahwa agama pada umumnya dan Gereja Katolik pada khususnya bertanggung jawab atas lebih banyak kematian dan kehancuran daripada entitas lain mana pun dalam sejarah. Mereka mengeksploitasi klaim konyol ini untuk membujuk umat Katolik kehilangan iman mereka dan untuk mengurangi pengaruh Gereja di dunia. Seorang akademisi terhormat melangkah lebih jauh dengan menerbitkan sebuah studi di mana dia memperkirakan bahwa paus abad pertengahan bertanggung jawab atas sekitar 30 juta hingga 50 juta kematian.2 Peneliti yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab mengekspos klaim seperti itu sebagai hal yang tidak masuk akal. Dalam tiga volume Encyclopedia of Wars (2004), Charles Phillips dan Alan Axelrod mengidentifikasi total 1.763 perang dalam sejarah manusia. Dari jumlah itu, hanya 123 perang yang dapat diklasifikasikan sebagai “religius”, yang setara dengan kurang dari 7 persen dari totalnya. Ketika perang yang dilakukan oleh Islam (50 persen dari 123) diperhitungkan, jumlah perang yang disebabkan oleh agama turun menjadi hanya 3 persen dari total itu.3