40. Gereja perdana tidak mengakui keutamaan kepausan

kepausan

Mereka yang menyerang Gereja Katolik sering menggunakan “Gereja mula-mula” dalam argumentasi mereka. Mereka “beralasan” bahwa Gereja Katolik modern sangat berbeda dari gereja Kristen pada masa-masa awal. Naik banding kepada Gereja mula-mula menggoda karena meniru salah satu ajaran-ajaran dasar Protestan: otoritas seseorang. Sesorang dapat menafsirkan wahyu ilahi untuk menentukan sendiri apa yang harus dipercaya. Demikian pula, mereka yang menggunakan argumen Gereja mula-mula berpikir bahwa melalui studi mereka sendiri, mereka dapat menentukan apa yang dipercayai oleh Gereja mula-mula. Namun, pertanyaan sebenarnya bukanlah apa yang dipercayai oleh Gereja mula-mula, melainkan bagaimana kehidupan orang Kristen mula-mula.1 Sumber-sumber sejarah membuktikan bahwa orang-orang Kristen mula-mula mengakui keutamaan universal uskup Roma.

39. Paus adalah Antikristus, dan Gereja adalah Pelacur Babel

kepausan

Kitab Wahyu mungkin yang paling disalahpahami dari tujuh puluh dua kitab dalam Alkitab. Bahasa dan citranya yang misterius membuatnya matang untuk banyak interpretasi yang berbeda dan sering dibuat-buat. Kaum revolusioner Protestan di abad keenam belas menggunakannya untuk kecaman-kecaman anti-Katolik mereka, mengidentifikasi kepausan dengan Antikristus dan Gereja itu sendiri dengan Pelacur Babel. Sayangnya, retorika semacam itu berlanjut hingga hari ini di berbagai buku dan di situs-situs web yang dimaksudkan untuk mengungkap “kebenaran” yang mengerikan tentang Gereja Katolik.1

38. Sepanjang sejarah Gereja, para paus lebih peduli dengan perolehan kekayaan dan kekuasaan politik

kepausan

Situs web Vatican Assassins berpendapat bahwa para paus percaya bahwa mereka memiliki hak untuk memerintah seluruh dunia.1 Meskipun menggelikan, itu tidak jauh dari tuduhan yang dibuat setidaknya sejauh zaman Ratu Elizabeth I dari Inggris (memerintah 1558–1603). Sekretaris negara dan kepala penasihat Elizabeth, William Cecil (1520-1598), misalnya, mengarang sebuah kampanye untuk meyakinkan warga Inggris bahwa paus adalah seorang pangeran asing yang merencanakan penaklukan pulau itu. Tetapi seperti yang diungkapkan oleh sebua survei sejarah kepausan, para paus lebih sering tunduk pada penguasa sekuler daripada tuan mereka.

37. Sejarah kepausan penuh dengan para Paus yang serakah, penuh nafsu, duniawi, dan tidak kompeten

kepausan

Serangan-serangan terhadap Gereja Katolik menargetkan banyak fiturnya, mulai dari sejarah hingga ajarannya. Target favorit lainnya, setidaknya sejak Reformasi, adalah kepausan. Taktik yang biasa digunakan adalah dengan menampilkan perhatian pada paus-paus yang kurang suci ini atau yang itu untuk memberi kesan sbahwa seluruh Gereja rusak. Misalnya, serial TV kabel Showtime, The Borgias, menyoroti kepausan dari seorang paus Renaisans yang sangat duniawi, Alexander VI (memimpin Gereja tahun 1492–1503).1 Para kritikus yang mengutip paus-paus yang buruk entah lupa atau tidak menyadari fakta dasar bahwa Gereja itu sendiri adalah suci tetapi para anggotanya tidak selalu demikian; semua adalah makhluk berdosa sekalipun ditebus. Setiap orang diberikan kehendak bebas oleh Tuhan untuk mematuhi dan menerima ajaran-Nya atau tidak—kegagalan untuk melakukannya tidak membatalkan kepausan dan Gereja yang berusia 2.000 tahun, sama seperti dosa para presiden AS tidak membatalkan kepresidenan.

36. Pernah ada seorang Paus perempuan bernama Joan (Yohana)

kepausan

Salah satu mitos yang lebih fantastis tentang kepausan adalah menyangkut seorang wanita yang diduga mengelabui Gereja dalam memilih pausnya. Mitos ini ditampilkan dalam novel “historical” tahun 1996 Pope Joan karya Donna Woolfolk Cross, yang diangkat menjadi film pada tahun 2009.1 Banyak musuh Gereja, terutama kaum feminis “Katolik” yang menganjurkan penahbisan perempuan, sangat menginginkan mitos ini menjadi benar sehingga mereka menyebarkannya meskipun tidak ada bukti yang kredibel.