19. Paulus III: Titik Balik

Renaisans dan Reformasi

Klemens VII meninggal pada tanggal 25 September 1534. Butuh waktu lima puluh hari dalam rapat konklaf untuk memilihnya, namun hanya dua hari untuk memilih penggantinya, dengan suara bulat dan tanpa suap, Paulus III, Alessandro Farnese. Bagaimana menjelaskan konsensus yang cepat dalam sebuah lembaga yang terkenal dengan sifat kontroversialnya? Suasana telah berubah. Terdapat rasa muak yang meluas di antara para kardinal dari setiap faksi terhadap kebijakan-kebijakan Klemens yang licik dan penilaian politiknya yang buruk. Terdapat kekhawatiran yang meluas, bahkan kepanikan mengenai apa yang mungkin terjadi di masa depan. Penjarahan Roma sungguh traumatis. Kota indah yang tampak di ambang kelahiran kembali, kesayangan para seniman besar pada masa itu, telah dirusak tanpa ampun dan penduduknya tersebar. Untungnya, tidak ada satu pun karya seni besar yang hancur, namun dampaknya tetap menghancurkan baik secara material maupun psikologis.

Pasukan Turki tampaknya tidak dapat dihentikan di perbatasan timur dan menyerang kota-kota di Italia selatan sesuka hati. Liga Schmalkaldik (Schmalkaldic League; baca juga DI SINI dan DI SINI) para pangeran Lutheran mengancam perang saudara di kekaisaran yang juga merupakan perang agama. Luther masih buron, dan ajarannya telah menyebar luas ke seluruh Eropa—dan bahkan merambah ke Italia. Sesuatu harus berubah. Pada Farnese, yang pada usia enam puluh tujuh tahun merupakan kardinal tertua dalam konklaf, yang lain melihat seorang pria yang mereka pikir mampu melakukannya.

Alessandro Farnese telah menjadi kardinal sejak tahun 1492, selama empat puluh dua tahun. Dia tahu seluk-beluknya, dia tahu bagaimana segala sesuatunya berjalan, dan dia dihormati secara luas karena kemampuan diplomasinya, tekadnya yang teguh, kecerdasannya, dan penilaiannya yang baik. Dia telah lama dan secara terbuka menyatakan perlunya sebuah konsili dan tidak takut akan hal itu. Dia tidak menyembunyikan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan politik Klemens atau ketidakpedulian Klemens terhadap nasihatnya. Di masa mudanya sebagai kardinal, dia berperilaku seperti kebanyakan rekannya dan melahirkan tiga putra dan seorang putri. Namun pada tahun 1513 ia memutuskan hubungan dengan majikannya, enam tahun kemudian ia ditahbiskan menjadi imam, dan kemudian melaksanakan dekrit reformasi Konsili Lateran Kelima di keuskupannya di Parma. Sejak saat itu ia menjadi bagian dari partai reformasi kecil dalam kuria.

Tak lama setelah pemilihannya, ia mengumumkan tiga tujuan kepausannya. Yang pertama adalah menciptakan perdamaian di antara para pangeran Kristen, yang jelas-jelas dimaksudkannya adalah perdamaian antara Francis dan Charles, yang sudah dua kali berperang melawan satu sama lain. Yang kedua adalah mengadakan konsili untuk menyelesaikan masalah agama. Yang ketiga adalah mengorganisir dan mendorong perang salib untuk memukul mundur Turki. Tujuan-tujuan ini saling terkait, dan keberhasilan salah satu tujuan agak bergantung pada keberhasilan dua tujuan lainnya. Dalam triad tersebut, keberhasilan Paulus yang paling nyata adalah Konsili Trente, namun kepentingannya melampaui konsili tersebut.

Tidak ada keraguan bahwa masa kepausan Paulus merupakan sebuah titik balik, namun dalam dua hal penting ia masih cocok dengan gambaran kita sebagai seorang “Paus Renaisans.” Yang pertama adalah dukungannya terhadap seni dan arsitektur di kota yang sedang berusaha bangkit dari penjarahan. Di antara para genius lain yang dapat ia pekerjakan adalah Michelangelo. Paulus menugaskannya untuk mengerjakan (lukisan) Penghakiman Terakhir (the Last Judgment) di Kapel Sistina, sebuah pekerjaan yang pertama kali ditugaskan oleh Klemens VII. Lukisan ini lebih tepat disebut “kebangkitan” (the resurrection), karena idenya menggambarkan sebuah artikel dari Pengakuan Iman, kebangkitan orang mati di hari terakhir. Meskipun restorasi lukisan ini menampilkan warna-warna cerah, namun penggambaran subjek lukisan Michelangelo bersifat gelap, sehingga lukisan ini sering ditafsirkan sebagai lambang perubahan suasana hati di Roma (lih. gambar 19.1).

19.1: Paulus III
Tarchiani, Filippo (1576–1645). Paus Paulus III mengunjungi studio Michelangelo.
 Casa Buonarroti, Florence, Italy. © Scala / Art Resource, NY

Paulus juga menugaskan Michelangelo untuk membuat lukisan dinding di kapel kepausan pribadi di Vatikan, Kapel Pauline, yang berisi lukisan luar biasa tentang pertobatan Santo Paulus dan lukisan lainnya tentang penyaliban Santo Petrus. Dia juga menempatkan seniman, yang sekarang menjadi arsitek, untuk bertanggung jawab atas pembangunan basilika baru Santo Petrus dan di kota Roma untuk bertanggung jawab atas desain ulang tata letak Bukit Capitoline (Capitoline Hill). Juga di kota itu Paulus merobohkan sejumlah bangunan bobrok, membangun jalan-jalan baru, memperluas piazza, dan membangun kembali Universitas Roma. Akhirnya, ia mempekerjakan Michelangelo sebagai arsitek untuk sebuah istana bagi keluarganya di pusat kota Roma, Palazzo Farnese yang terkenal, yang paling dikenal di seluruh dunia sebagai lokasi babak kedua opera Puccini, Tosca.

Palazzo Farnese membawa kita pada cara kedua Paulus menyesuaikan gambaran kita tentang seorang paus Renaisans: kecintaannya terhadap keluarganya, terutama anak-anak dan cucu-cucunya. Semangat ini, yang terkadang membabi buta, bukan sekedar skandal yang membuat kecewa para reformis. Hal ini juga menyebabkan Paus melakukan manuver politik yang sangat menghambatnya dalam mencapai tiga tujuan yang telah ia tetapkan dalam masa kepausannya, yaitu dengan melibatkannya dalam intrik dan terkadang manuver politik yang licik, yang khususnya merusak hubungannya dengan Charles V. Paus segera mengangkat tangannya setelah pemilihannya ketika dia menominasikan dua cucu remajanya sebagai kardinal—Alessando Farnese (senama dengannya), dan Guido Ascanio Sforza .

Meskipun ia menafkahi kerabatnya dengan cara lain, pencalonan mereka ke dalam Dewan Kardinal ternyata bukanlah pola yang ia ikuti. Selama lima belas tahun masa kepausannya, ia mengangkat tujuh puluh satu kardinal, yang sebagian besar adalah orang-orang yang jujur, dan beberapa di antaranya lebih dari itu. Mereka termasuk John Fisher, orang Inggris yang dieksekusi oleh Henry VIII setahun setelah pencalonannya, dan Reginald Pole , keturunan bangsawan melalui ibunya, Margaret, Countess Salisbury, keponakan Edward IV. Pole dan rekan kardinalnya yang dicalonkan oleh Paulus, Giovanni Morone, dikaitkan dengan sekelompok orang yang berpikiran spiritual di Italia termasuk penyair, Vittoria Colonna, dan bahkan Michelangelo sendiri. Yang juga dicalonkan oleh Paulus adalah Gian Pietro Carafa (yang kemudian sebagai Paus Paulus IV), salah satu pendiri ordo keagamaan baru yang melakukan reformasi, Theatines (Teatin). Melalui pencalonannya, Paulus tidak mengusir semua ambisi atau pertikaian dari kolese tersebut, namun ia membalikkan sekularisasi yang telah menjadi ciri kolese sejak zaman Sixtus IV. Ini merupakan langkah maju yang menentukan.

“Reformasi Roma, reformasi dunia” (Reform Rome, reform the world). Slogan ini merupakan prioritas yang telah lama didukung oleh para reformis, sebuah prioritas yang semakin jelas setelah Luther melancarkan serangan pedasnya terhadap kepausan dan kuria. Paulus, yang peka terhadap masalah ini, pada tahun 1536 membentuk sebuah komisi “untuk reformasi gereja” (on the reform of the church), yang dipimpin oleh seorang Venesia yang taat dan cakap, Kardinal Gasparo Contarini, dan termasuk Carafa dan Pole. Setahun kemudian komisi tersebut mengeluarkan laporan rahasianya, di mana paragraf kedua dengan blak-blakan [terjemahan bebas]:

Asal muasal semua kejahatan dalam gereja ini adalah. . . guru-guru seketika muncul yang mengajarkan bahwa Paus adalah Tuhan atas segala kemurahan hati dan oleh karena itu, maka sudah sewajarnya Paus tidak bersalah atas simoni. Kehendak Paus, apa pun jenisnya, merupakan aturan yang mengatur aktivitas dan perbuatannya: yang darinya dapat ditunjukkan dengan pasti bahwa apa pun yang berkenan kepadanya juga diperbolehkan. Dari sumber ini bagaikan seekor kuda Troya, begitu banyak pelanggaran dan penyakit serius yang menyerang gereja Tuhan sehingga kita sekarang melihatnya menderita hingga hampir putus asa akan keselamatannya..[1]

Sayangnya, laporan tersebut dibocorkan dan digunakan oleh kaum Lutheran untuk membenarkan tuduhan mereka. Eksploitasi oleh kaum Lutheran terhadap laporan tersebut mungkin menjadi faktor yang membujuk Paulus untuk tidak mengambil tindakan tegas atas rekomendasi-rekomendasi spesifik laporan tersebut, yang sebagian besar berkaitan dengan dispensasi dari hukum kanon yang diberikan oleh kepausan sebagai imbalan atas suatu pertimbangan dan prosedur-prosedur serupa yang setidaknya terlihat seperti simoni dan itu telah berkontribusi besar dalam menghitamkan nama kepausan.

Namun, pada tahun 1542, Paulus mengambil langkah tegas dalam upaya menghentikan penyebaran Lutheranisme di Italia ketika ia mendirikan Inkuisisi Romawi (Roman Inquisition), yang kemudian dikenal sebagai Holy Office. Konteks langsung pendiriannya adalah pembelotan ke Lutheranisme dari dua reformis terkemuka Italia, pengkhotbah Agustinian Pietro Vermigli (dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Peter Martyr) dan Bernardino Ochino, superior jenderal cabang reformasi Fransiskan yang baru didirikan, Kapusin.

Inkuisisi Romawi adalah lembaga baru, tidak terkait langsung dengan Inkuisisi abad pertengahan atau bahkan Inkuisisi Spanyol yang didirikan oleh Ferdinand dan Isabella setengah abad sebelumnya. Namun, mereka seperti sebuah pengadilan, sebuah lembaga peradilan. Tugasnya adalah menyelidiki tuduhan sesat dan kemudian, jika tuduhan itu masuk akal, mengadili terdakwa dan kemudian memberikan putusan. Pada mulanya Inkuisisi berjalan secara tentatif, namun ketika Gian Pietro Carafa, salah satu anggota aslinya, menjadi paus pada tahun 1555, Inkuisisi semakin berkembang pesat.

Keberhasilan Paulus dalam mengadakan pertemuan di Trente tentu saja berdampak besar pada masa depan agama Katolik. Tidak sedramatis Trente namun memiliki dampak serupa adalah dukungannya terhadap ordo keagamaan baru, yang paling terkenal adalah Jesuit —yang secara resmi disebut Serikat Yesus / Yesuit (the Society of Jesus). Para pendiri Jesuit, yang dipimpin oleh bangsawan Basque Ignatius Loyola, semuanya adalah lulusan Universitas bergengsi Paris, yang pada awalnya memandang diri mereka sebagai sekelompok pengkhotbah dan misionaris keliling ke negeri-negeri asing. Mereka datang ke Roma pada akhir tahun 1530-an dan mendapatkan persetujuan kelompok mereka dari Paulus pada tanggal 27 September 1540. Sambil tetap mempertahankan tujuan misionaris mereka, mereka kemudian mendirikan perguruan tinggi dan universitas di seluruh Eropa dan di banyak belahan dunia lainnya. Di Eropa utara, mereka paling dikenal sebagai garda depan Kontra Reformasi Katolik (Catholic Counter Reformation).


[1] The origin of all these evils in the church was that . . . teachers at once appeared who taught that the pope is the lord of all benefices and that therefore it necessarily follows that the pope cannot be guilty of simony. The will of the pope, of whatever kind it may be, is the rule governing his activities and deeds: whence it may be shown without doubt that whatever is pleasing to him is also per- mitted. From this source as from a Trojan horse so many abuses and such grave diseases have rushed upon the church of God that we now see her afflicted almost to the despair of salvation – “The Consilium de Emendanda Ecclesia,” dalam The Catholic Reformation: Savonarola to Ignatius Loyola, Reform in the Church, 1495–1540, ed. John C. Olin (New York: Harper and Row, 1969), h. 186–187.

… halaman berikut

Leave a comment