4.7. Gereja dan Kanon

kanon Perjanjian Baru

Calvin keberatan dengan gagasan bahwa kanon Kitab Suci memperoleh otoritasnya dari Gereja karena menurut dia, “Sama sekali sia-sia, jika demikian, untuk menganggap bahwa kuasa untuk menilai Kitab Suci terletak pada gereja dan bahwa kepastiannya bergantung pada persetujuan gerejawi”.1 Tetapi pembenaran Calvin untuk kanon hanya menggantikan “gereja” dengan “individu” dan memperoleh kepastiannya dari persetujuan (pembenaran) individu terhadap apa yang menurutnya telah diungkapkan oleh Roh Kudus (atau “diterangi oleh kuasa-Nya”) kepadanya.

4.6. Fallible Criteria

kanon Perjanjian Baru

Dalam The Shape of Sola Scriptura, Keith Mathison mengakui bahwa jenis argumen-argumen yang baru saja kita tinjau menghadirkan sebuah “kritik yang menghancurkan” terhadap mereka yang mencoba membuat kanon Kitab Suci dari Kitab Suci saja. Dia mengatakan mereka yang mencoba tugas ini “dapat mengatakan bahwa hanya kitab suci yang berwibawa, tetapi mereka tidak dapat mengatakan dengan otoritas apa pun secara tepat apa itu kitab suci. Setiap upaya untuk secara otoritatif mendefinisikan sebuah kanon, atau daftar isi, secara otomatis merupakan penolakan terhadap solo scriptura”.1

4.5. Self-Authenticating Criteria

kanon Perjanjian Baru

Calvin berkata, “Alkitab memang benar-benar terotentikasi-sendiri; oleh karena itu tidak tepat untuk membuatnya tunduk pada bukti dan pertimbangan”.1 Tetapi bagaimana Kitab Suci mengotentikasi-diri-sendiri? Calvin menjelaskan:

4.4. Objective Criteria

kanon Perjanjian Baru

Untuk menghindari bahaya subjektivisme, beberapa Protestan mengajukan kriteria objektif untuk menentukan kanon yang tidak membawa serta penilaian gereja yang infalibel yang diberkahi dengan otoritas Kristus.

4.3. Subjective Criteria

kanon Perjanjian Baru

Beberapa Protestan mengklaim bahwa orang Kristen dapat mengetahui kitab-kitab mana yang diilhami dan mana yang tidak melalui sebuah kesaksian internal yang subjektif yang diberikan Roh Kudus kepada mereka. Para apologis ini mungkin mengutip Yoh 10:27, di mana Yesus berkata, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku”.1 Menurut para pendukung pandangan subjektif, seorang Kristen dapat mengetahui bahwa tulisan-tulisan Perjanjian Baru diilhami karena Tuhan mengungkapkan kebenaran itu kepada setiap orang percaya. Teolog Reformed awal abad kedua puluh, Charles Briggs berkata:

4.2. Sejarah Kanon

kanon Perjanjian Baru

Kesaksian para Bapa apostolik paling awal menunjukkan bahwa mereka tidak hanya tidak memiliki kanon Kitab Suci yang tertutup (closed canon), tetapi mereka juga mengandalkan kesaksian lisan untuk melengkapi catatan tertulis ini. Papias, yang menulis pada tahun 125 M, mencari kesaksian dari mereka yang mengenal para rasul dan berkata, “Saya membayangkan bahwa apa yang akan didapat dari kitab-kitab tidak begitu menguntungkan bagi saya seperti apa yang datang dari suara yang hidup dan kekal”.1 Karya-karya abad pertama seperti Didache dan First Epistle of Clement tampaknya menggunakan Injil Matius, tetapi lebih sering mereka mendukung ajarab-ajaran mereka dengan kutipan-kutipan dari Perjanjian Lama atau tradisi lisan.2

4.1. Masalah Kanon

kanon Perjanjian Baru

Jika Kitab Suci adalah “pengadilan banding terakhir” atau “satu-satunya aturan iman yang tidak dapat salah”, lalu atas dasar apa seorang Kristen menentukan apakah tulisan-tulisan tertentu adalah Kitab Suci atau bukan? Jika seseorang naik banding kepada otoritas di luar Kitab Suci, otoritas itu setidaknya menjadi setara dengan otoritas Kitab Suci. Bagi banyak orang Protestan ini tidak dapat diterima, atau seperti yang dikatakan oleh sarjana Calvinis Richard Gaffin, “Hal itu akan menghancurkan Perjanjian Baru sebagai kanon, sebagai otoritas mutlak”.1 Di sisi lain, mengacu pada Kitab Suci saja untuk menjawab pertanyaan – apa yang termasuk dalam Kitab Suci? – Mengakitbatkan penalaran melingkar. Ini mengungkapkan bahwa Anda sudah tahu jawaban atas pertanyaan yang Anda ajukan. Dalam menghadapi dilema ini seorang Protestan mungkin menghindari pertanyaan itu sepenuhnya, sebuah pendekatan yang mana teolog Reformed Douglas Wilson berikan sebuah analisisnya yang bijaksana: