BAGAIMANA SAYA MENEMUKAN St. PETRUS

Kota Abadi

2 Februari. Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah (atau Feast Day of the Purification of Mary). Saya masih seorang pendeta Episkopal. Istri saya Joy sedang mengandung anak keempat kami. Kami melakukan perjalanan ke Roma dengan sebuah pertanyaan yang menusuk hati nurani kami: “Apakah Gereja Katolik adalah Gereja yang benar dari Tuhan kita Yesus Kristus?”

Jika Anda telah membaca buku pertama dalam trilogi, The Crucified Rabbi, Anda membaca tentang pertemuan saya dengan Rabi di rumah sakit dan penyelidikan teologis saya tentang Katolik. Setelah doa dan percakapan larut malam, Joy dan saya siap. Kami telah terbang ke Roma, dan kami siap untuk menyegel kesepakatan.

2. Yesus Memberitakan Firman

Firman Tuhan Berinkarnasi

Seiring waktu, baik Yesus maupun Yohanes Pembaptis tumbuh menjadi dewasa. St Lukas memberi tahu kita bahwa Yohanes Pembaptis memulai pelayanannya “Dalam tahun kelima belas dari pemerintahan Kaisar Tiberius,” — yaitu pada tahun 29 M — dan “datanglah Yohanes ke seluruh daerah Yordan dan menyerukan: ‘Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu’ ” (Luk 3:1–3). Pesannya adalah, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat” (Mat 3:2). Dia juga bernubuat bahwa “Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api” (Mat 3:11).

Pertanyaan #7

rebuttal

John: Pertanyaannya adalah, mengapa kita sebagai Protestan begitu terpaku pada gagasan bahwa Kitab Suci saja adalah otoritas kita. Karena Katolik Roma mengatakan tidak ada dalam Alkitab yang melarang sebuah otoritas tambahan. Yah, pertama-tama itu adalah sebuah argument from silence.1 Mengatakan bahwa Anda dimandatkan oleh sesuatu yang tidak dikatakan Alkitab adalah benar-benar konyol. Karena tidak ada akhir dari apa yang tidak dikatakan oleh Alkitab, Anda dapat menemukan segala macam hal yang tidak dikatakan oleh Alkitab. Anda tidak dapat menggunakannya sebagai dasar untuk otoritas ilahi.

4.6. Fallible Criteria

kanon Perjanjian Baru

Dalam The Shape of Sola Scriptura, Keith Mathison mengakui bahwa jenis argumen-argumen yang baru saja kita tinjau menghadirkan sebuah “kritik yang menghancurkan” terhadap mereka yang mencoba membuat kanon Kitab Suci dari Kitab Suci saja. Dia mengatakan mereka yang mencoba tugas ini “dapat mengatakan bahwa hanya kitab suci yang berwibawa, tetapi mereka tidak dapat mengatakan dengan otoritas apa pun secara tepat apa itu kitab suci. Setiap upaya untuk secara otoritatif mendefinisikan sebuah kanon, atau daftar isi, secara otomatis merupakan penolakan terhadap solo scriptura”.1

4.4. Objective Criteria

kanon Perjanjian Baru

Untuk menghindari bahaya subjektivisme, beberapa Protestan mengajukan kriteria objektif untuk menentukan kanon yang tidak membawa serta penilaian gereja yang infalibel yang diberkahi dengan otoritas Kristus.

4.3. Subjective Criteria

kanon Perjanjian Baru

Beberapa Protestan mengklaim bahwa orang Kristen dapat mengetahui kitab-kitab mana yang diilhami dan mana yang tidak melalui sebuah kesaksian internal yang subjektif yang diberikan Roh Kudus kepada mereka. Para apologis ini mungkin mengutip Yoh 10:27, di mana Yesus berkata, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku”.1 Menurut para pendukung pandangan subjektif, seorang Kristen dapat mengetahui bahwa tulisan-tulisan Perjanjian Baru diilhami karena Tuhan mengungkapkan kebenaran itu kepada setiap orang percaya. Teolog Reformed awal abad kedua puluh, Charles Briggs berkata:

4.1. Masalah Kanon

kanon Perjanjian Baru

Jika Kitab Suci adalah “pengadilan banding terakhir” atau “satu-satunya aturan iman yang tidak dapat salah”, lalu atas dasar apa seorang Kristen menentukan apakah tulisan-tulisan tertentu adalah Kitab Suci atau bukan? Jika seseorang naik banding kepada otoritas di luar Kitab Suci, otoritas itu setidaknya menjadi setara dengan otoritas Kitab Suci. Bagi banyak orang Protestan ini tidak dapat diterima, atau seperti yang dikatakan oleh sarjana Calvinis Richard Gaffin, “Hal itu akan menghancurkan Perjanjian Baru sebagai kanon, sebagai otoritas mutlak”.1 Di sisi lain, mengacu pada Kitab Suci saja untuk menjawab pertanyaan – apa yang termasuk dalam Kitab Suci? – Mengakitbatkan penalaran melingkar. Ini mengungkapkan bahwa Anda sudah tahu jawaban atas pertanyaan yang Anda ajukan. Dalam menghadapi dilema ini seorang Protestan mungkin menghindari pertanyaan itu sepenuhnya, sebuah pendekatan yang mana teolog Reformed Douglas Wilson berikan sebuah analisisnya yang bijaksana:

2.1. Pandangan Katolik tentang Tradisi

Tradisi Suci

Pada tingkat yang paling dasar, “tradisi” mengacu pada apa yang “diwariskan” (handed on; yang merupakan arti dari kata Latin tradere). Ini berarti, misalnya, Kitab Suci adalah bagian dari tradisi yang diturunkan kepada Gereja dari para rasul. Konsili Vatikan Kedua mengajarkan dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum bahwa “Oleh karena itu pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantian-penggantian yang tiada putusnya”.1

1.5. “Segala tulisan diilhamkan. . .”

Sola Scriptum

Dalam 2 Tim 3:16-17, Paulus menasihati Timotius untuk waspada terhadap orang-orang jahat yang akan menganiaya dan menipu orang Kristen. Ia mengingatkan Timotius bahwa ”Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik”. Samples mengklaim, “Bagian ini mengandung esensi sola scriptura1, tetapi sebuah pemeriksaan menyeluruh terhadap “Segala tulisan yang diilhamkan” menunjukkan sebaliknya.

SEBUAH PEMIKIRAN TERAKHIR TENTANG TRADISI

Mengapa Itu Ada Dalam Tradisi?

Dokumen Vatikan II tentang wahyu Ilahi, Dei Verbum (“Sabda Allah”) merangkum kesatuan esensial dari Kitab Suci, Tradisi, dan magisterium:

“Maka jelaslah tradisi suci, Kitab suci dan Wewenang Mengajar Gereja (magisterium), menurut rencana Allah yang mahabijaksana, saling berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak dapat ada tanpa kedua lainnya, dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan caranya sendiri, di bawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi keselamatan jiwa-jiwa” (DV 10, par.3).