5. PETRUS MENDIRIKAN GEREJA ROMA?

Kota Abadi

Kota yang kamu lihat tidak lain adalah Roma yang agung dan mulia,
Ratu Bumi yang sejauh ini terkenal,
dan diperkaya dengan harta rampasan bangsa-bangsa;
di sana Capitol yang kamu lihat,
mengangkat kepalanya yang megah di atas yang lain

– Kata-kata Setan kepada Kristus
Paradise Regain’d karya John Milton1


Sama seperti Roma pernah menginvasi kota Yerusalem, demikian juga sekarang seorang nelayan Yahudi memasuki kota Roma dan mengubahnya selamanya. Kita berbicara tentang Simon Petrus, Batu Karang yang di atasnya Kristus mendirikian Gereja-Nya.2 Bertahun-tahun sebelum Kristus mati di salib Romawi di luar tembok Yerusalem, Dia menunjuk dua belas Rasul. Dia pertama kali memilih Andreas dan kemudian saudaranya Simon yang menjadi Petrus. Selanjutnya dia memanggil dua bersaudara, Yakobus dan Yohanes. Dan kemudian dia memamanggil Filipus dan Nathanael. Berikutnya Matius pemungut cukai. Kemudian dia memanggil lima orang lainnya: Thomas, Yakobus yang lain, Simon yang lain, dan dua Yudas — Yudas Tadeus dan Yudas Iskariot si pengkhianat.

30. Otoritas Paus

Gereja dan Paus

Para Bapa Gereja mengakui bahwa para penerus Petrus berbagi otoritas atau keunggulannya yang istimewa. Dalam berbagai cara, para Bapa membuktikan fakta bahwa gereja Roma adalah pusat, gereja yang otoritatif. Mereka mengandalkan Roma dalam meminta nasihat, untuk mediasi dalam perselisihan, dan untuk bimbingan sehubungan dengan masalah-masalah doktrinal. Mereka mencatat, seperti yang dilakukan St. Ignatius dari Antiokhia, bahwa Roma memegang “kepemimpinan” (presidency) di antara gereja-gereja lain, dan bahwa, seperti yang dijelaskan St. Irenaeus dari Lyons, “karena asalnya yang unggul, semua gereja harus setuju” dengan Roma. Para bapa Gereja juga dengan gamblang pada fakta bahwa persekutuan dengan Roma dan uskup Romalah yang menyebabkan seseorang berada dalam persekutuan dengan Gereja Katolik. Ini menunjukkan pengakuan bahwa, seperti yang dikatakan St. Siprianus dari Kartago, Roma adalah “gereja utama, di mana kesatuan keimamatan memiliki sumbernya.”

28. Petrus di Roma

Gereja dan Paus

Dalam bab-bab sebelumnya kita telah melihat bahwa pada awal karir Petrus sebagai rasul, Yesus menjadikannya batu karang yang di atasnya Gereja didirikan dan ini memberinya keunggulan khusus (primat, primacy). Di sini kita akan melihat akhir karir Petrus, saat dia melakukan perjalanan ke Roma.

23. Tradisi Apostolik

Sumber Iman

Dalam bab 2, kita melihat peran Tradisi dalam iman Kristiani. Bertentangan dengan pandangan dalam komunitas Protestan, kita tidak dimaksudkan untuk melihat ke “Kitab Suci saja.” Sementara kita harus berhati-hati terhadap tradisi manusia belaka, Alkitab berisi banyak referensi tentang rasa hormat yang harus kita berikan kepada Tradisi apostolik.

9. Kenali Bapa-bapamu

ad fontes

Seruan “Ad fontes!” (Lat. “[kembali] ke sumber!”) telah digunakan dalam berbagai konteks di zaman Renaisans, Reformasi, dan oleh tokoh-tokoh Katolik seperti Erasmus dari Rotterdam.

6. Yunani dan Romawi

Dunia para Bapa

Kekristenan datang lebih awal ke bagian dunia ini. St Lukas menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan yang pindah ke Yudaisme dari tempat yang jauh seperti Roma hadir pada hari Pentakosta di Yerusalem (Kis 2:10-11). Agaknya beberapa orang menerima khotbah para rasul dan membawa pulang iman mereka yang baru itu.

BAB 8. St. Klemens dari Roma

Misa Umat Kristen Mula-mula

Paus Klemens dari Roma adalah sosok seperti bayangan yang hanya sedikit kita ketahui; dan para sejarawan bahkan dengan sengit memperdebatkan sedikit hal yang kita pikir mungkin kita ketahui. Suratnya kepada Jemaat Korintus, jelas termasuk di antara segelintir artefak yang paling penting bagi sejarah Gereja awal. Karena itu tentu saja merupakan salah satu dokumen Kristen paling kuno yang bertahan hingga zaman kita.

4. Otoritas Tradisi Apostolik

Mengapa Itu Ada Dalam Tradisi?

Dengan semua bukti yang telah kita lihat sampai saat ini menunjukkan keaslian Tradisi Katolik — dengan melihat betapa tak terbantahkannya tradisi itu dalam Gereja mula-mula — kita tidak perlu banyak bicara untuk penjelasan tentang apa yang dipikirkan Gereja perdana tentang otoritas Tradisi Suci. Beberapa contoh pernyataan patristik beikut ini, yang diambil dari tujuh abad pertama Kekristenan, sudah cukup untuk membuktikan bahwa orang Kristen paling awal memandang (regarded; memperhatikan, mengharagai, menghormati, memperhitungkan…red) Tradisi Suci sebagai sesuatu yang otoritatif dan perlu. Tradisi, bagi orang Kristen awal sebagaimana juga sekarang bagi orang Kristen zaman modern, adalah cara Gereja untuk memastikan bahwa ajarannya sesuai dengan apa yang diajarkan Kristus dan para Rasul. Inilah sebabnya, ketika bidah seperti Arianisme muncul, yang menyangkal Trinitas dan keilahian Kristus, Gereja pada abad ketiga dan keempat dapat secara memadai menyangkal (adequately refute; menyanggah, membuktikan bahwa [itu] salah…red) klaim kitab suci kaum Arian. Sama seperti Saksi Yehova atau Mormon di zaman modern ini, kaum Arian hanya bisa mengutip Kitab Suci (di luar konteks dan tentu saja dengan interpretasi yang salah). Mereka tidak dapat merujuk (atau naik banding) pada sebuah Tradisi yang tak terputus dari interpretasi otentik dari bagian-bagian Kitab Suci itu. Namun, Gereja Katolik dapat melakukannya. Dan dengan rujukannya kepada otoritas Tradisi Apostolik, sebagai pernyataan persetujuan yang diperlukan untuk Kitab Suci, Gereja mampu menghadapi dan mengalahkan tantangan doktrinal yang diajukan oleh bidat seperti Arianisme, Nestorianisme, Monofisit, dan kelompok-kelompok lainnya yang menyimpang secara teologis.

2. Uskup Roma Memiliki Otoritas Unik

Mengapa Itu Ada Dalam Tradisi?

Ada banyak contoh dari para Bapa Gereja mula-mula yang dapat kita gunakan untuk menunjukkan bahwa paus memiliki keutamaan otoritas yang khusus dalam Gereja, otoritas yang dengan segera diterima, bahkan kadang-kadang dengan begitu semangatnya dipertahankan, oleh para uskup dari keuskupan lain. Salah satu contoh yang sangat mencolok dari seorang uskup Roma mula-mula yang mempraktekkan keutamaan yurisdiksi ini adalah pada masa kepemimpinan Paus Victor I. Pada tahun 190, ia berusaha untuk mengakhiri kontroversi antara Katolik Timur dan Barat mengenai pertanyaan kapan harus merayakan Paskah.1