4.4. Objective Criteria

kanon Perjanjian Baru

Untuk menghindari bahaya subjektivisme, beberapa Protestan mengajukan kriteria objektif untuk menentukan kanon yang tidak membawa serta penilaian gereja yang infalibel yang diberkahi dengan otoritas Kristus.

Martin Luther menulis dalam kata pengantarnya untuk surat Yakobus dan Yudas, “Ini adalah ujian yang sebenarnya dari semua kitab, ketika kita melihat apakah mereka memberitakan Kristus atau tidak. . . . Apa pun yang tidak mengajarkan Kristus, itu bukanlah apostolik, meskipun yang mengajarkannya adalah St. Petrus atau St. Paulus; dan lagi, apa yang memberitakan Kristus adalah Apostolik”.1 Tapi ini bukan syarat yang diperlukan untuk kanonisitas, juga bukan sebuah syarat yang memadai. Sebuah traktat Injil sederhana atau lukisan Penyaliban bisa dikatakan “memberitakan Kristus”, namun karya-karya itu tidak diilhami. Surat Ketiga Yohanes, di sisi lain, bahkan tidak pernah menyebut nama Kristus, namun dianggap sebagai firman Allah yang diilhami.

Beberapa Protestan mungkin mengatakan ini adalah sebuah masalah dengan kriteria ambigu Luther untuk menentukan kanon, bukan penggunaan kriteria objektif secara umum. Menurut F. F. Bruce dalam bukunya The Canon of Scripture, Gereja perdana menggunakan kriteria otoritas apostolik, kuno, ortodoksi, dan katolik atau penerimaan universal untuk mengenali apakah sebuah kitab diilhami. Seorang apologis mungkin bertanya, “Mengapa orang Kristen saat ini tidak dapat menggunakan kriteria yang sama ini untuk membenarkan otoritas kanon terlepas dari otoritas Gereja?”

Pertama, setiap klaim bahwa seperangkat kriteria tertentu harus menentukan kanon masih melibatkan sebuah penilaian subjektif. Misalnya, mengapa kriteria Luther tentang “memberitakan Kristus” tidak digabungkan dengan kriteria Bruce? Kedua, memang benar bahwa Gereja menggunakan kriteria ini, antara lain, ketika menentukan tradisi mana tentang kanon yang berasal dari apostolik. Tapi itu tidak berarti kriteria ini dapat diterapkan oleh siapa saja terpisah dari penilaian Gereja untuk menciptakan kanon Perjanjian Baru yang sama yang ditemukan dalam Alkitab-alkitab saat ini.

Pertimbangkan, misalnya, kriteria otoritas atau kepengarangan apostolik. Ini bukan kondisi yang cukup untuk dianggap kanonik. Paulus menulis surat-surat yang tidak kita miliki (1 Kor 5:9), dan banyak orang Protestan mengatakan bahwa jika salah satu dari surat-surat itu ditemukan, mereka tidak akan menganggapnya sebagai Kitab Suci karena, meskipun seorang rasul menulisnya, tulisan ini tidak telah “diwariskan bagi gereja”.2 Namun, jika Gereja mula-mula dapat memilih untuk tidak mengakui sebuah tulisan apostolik sebagai kanonik, lalu apa yang mencegah Gereja modern melakukan hal yang sama? Mungkinkah “Gereja” hanya semata-mata memutuskan bahwa bagian-bagian dari Perjanjian Baru, seperti yang tampak kontradiktif atau menyinggung perasaan (sensibilities) modern, tidak kanonik? Jika Gereja mula-mula tidak memiliki otoritas apostolik, maka tidak ada alasan bagi Gereja modern untuk terus mematuhi keputusan-keputusan yang tidak lagi disetujuinya.

Otoritas apostolik juga bukan satu-satunya syarat yang menentukan untuk menjadi kanonik, karena Markus dan Lukas bukanlah rasul dan Injil mereka tidak mengklaim memiliki hubungan apa pun dengan para rasul (peran Markus sebagai penerjemah Petrus dan peran Lukas sebagai rekan seperjalanan Paulus diketahui melalui tradisi). Surat kepada Orang Ibrani pernah dikaitkan dengan Paulus, tetapi sekarang secara luas dipahami sebagai non-Pauline. Jika kepengarangan apostolik saja yang membuat Perjanjian Baru berbeda dari literatur kanon lainnya, maka beberapa kitab Perjanjian Baru yang tidak memiliki rasul sebagai penulisnya harus dihapus dari Alkitab.

Seorang Protestan mungkin mengatakan setidaknya ada tradisi apostolik di balik Markus, Lukas, dan Ibrani yang membenarkan penyertaan mereka dalam kanon. Namun, tidak konsisten bagi seorang Protestan untuk mendasarkan identitas Kitab Suci yang menjadi otoritas dasarnya (atau sola scriptura) semata-mata pada tradisi dan kemudian mengatakan sola scriptura mengharuskan dia untuk menolak doktrin apa pun yang menurutnya hanya ditemukan dalam tradisi. Dan langkah seperti itu tidak memberinya kanon Perjanjian Baru yang kita miliki saat ini, karena dengan demikian akan memasukkan tulisan-tulisan dari para Bapa Gereja seperti Klemens dari Roma, Polikarpus, dan Ignatius karena tradisi mengaitkan orang-orang ini dengan para rasul (Klemens dengan Petrus, Polikarpus dan Ignatius dengan Yohanes).

Kriteria lain juga gagal menghasilkan kanon tradisional secara otomatis karena tulisan-tulisan ini, bersama dengan karya-karya seperti Didache, akan dimasukkan dalam kriteria kuno karena ditulis pada abad pertama atau (dalam kasus Ignatius) segera sesudahnya. Mereka juga melewati kriteria ortodoksi, yang menjadi kriteria yang bermasalah karena seseorang harus mengandalkan tradisi untuk mengetahui apa itu ortodoksi sebelum Kitab Suci dapat diuji untuk melihat apakah itu ortodoks dan sesuai dengan iman yang diturunkan dari para rasul.

Pada abad kedua, Marcion3 yang sesat hanya menerima Injil Lukas dan beberapa surat Paulus karena dia percaya hanya tulisan-tulisan ini yang “ortodoks”. Tertullianus menyerang kanon Marcion tetapi tidak melalui banding ke kanon yang diakui secara luas dari mana Marcion telah menyimpang.4 McDonald mengatakan tentang Tertullianus, “Namun, tidak ada dalam tulisannya yang masih ada, kita menemukan daftar atau identifikasi spesifik apa pun yang secara tepat ada dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru Tertullianus”.5 Menurut Bruce,

Di mana interpretasi Alkitab dipermasalahkan, ada kecenderungan untuk mempertahankan bahwa hanya gereja katolik yang berhak menafsirkannya, karena Alkitab adalah buku gereja; tetapi dalam kontroversi Marcionite jawaban harus diberikan untuk pertanyaan yang lebih mendasar: Apakah Alkitab itu?. . . Jika mereka tidak terlalu memikirkan batas-batas tulisan suci sebelumnya, mereka harus memberikan perhatian serius pada pertanyaan itu sekarang.6

Hal itu menyisakan kita kriteria “katolik” (catholicity) atau “penerimaan universal oleh Gereja”. Robert Godfrey berkata, “Karakter mengotentikasi sendiri (self authenticating) dari kanon ditunjukkan oleh kebulatan suara yang luar biasa yang dicapai oleh umat Allah tentang kanon”.7 Pertama, bahkan jika kanon telah diterima secara universal di Gereja mula-mula, tidak konsisten bagi Protestan untuk mengadopsi tradisi ini dari periode waktu itu tetapi tidak mengadopsi tradisi lain yang diterima secara universal seperti Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi (lihat bab 8), pembaptisan kelahiran kembali (lihat bab 9), dan kemungkinan kehilangan keselamatan (lihat bab 12).

Tetapi seperti yang telah kita lihat, tidak ada penerimaan universal dari kanon hari ini di antara orang-orang percaya dalam beberapa abad pertama sejarah Kristen. Konsensus semacam itu hanya kemudian tumbuh dari ajaran otoritatif Gereja Katolik. Menurut McDonald, “Gagasan tentang kanon Perjanjian Baru yang tertutup bukanlah perkembangan abad kedua di gereja mula-mula, dan masih ada perbedaan pendapat yang cukup besar tentang apa yang harus membentuk kanon itu bahkan pada abad keempat dan kelima”.8 Craig Allert setuju dan juga mencatat bahwa “ini memiliki implikasi-implikasi langsung untuk argumen bahwa gereja mula-mula mengacu pada Alkitab dan Alkitab saja untuk doktrinnya: seseorang tidak dapat dengan tepat berbicara tentang Alkitab dalam beberapa abad pertama keberadaan gereja”.9

Mereka yang hanya mengandalkan penerimaan Gereja atas kanon juga tidak memiliki alasan untuk mengatakan bahwa kanon itu infalibel jika Gereja yang mengumumkan kanon (di mata mereka) tidak infalibel. Beberapa Protestan mencoba untuk melakukan ini, tetapi sebelum kita memeriksa argumen mereka, kita harus membahas satu cara lain untuk membenarkan kanon terpisah dari otoritas pengajaran Gereja Katolik.


1  “This is the true test of all books, when we see whether or not they preach Christ. . . . Whatever does not teach Christ, that is not apostolic, even though St. Peter or St. Paul taught it; again, what preaches Christ would be Apostolic”, Paul Althaus, The Theology of Martin Luther (Minneapolis: Fortress Press, 1966), 83.

2  “Bahkan jika kita menemukan surat Paulus yang hilang di gurun pasir hari ini, kita tidak akan menempatkannya ke dalam kanon sebagai buku kedua puluh delapan. Sebaliknya, kita sama sekali akan mengakui bahwa Tuhan tidak melestarikan buku ini sebagai landasan permanen bagi gereja”, Kruger, Canon Revisited, 97.

3  Gerakan yang berciri dualistik dan asketik yang dirintis oleh Marcion yang berasal dari Pontus, Asia Kecil. Sekitar tahun 140 ia pergi ke Roma dan dijatuhi hukuman ekskomunikasi pada tahun 144. Dalam tulisannya yang berjudul Antithesis, ia menyatakan bahwa Pencipta (atau demiuerge) dan hukum PL, tidak dapat didamaikan dengan Allah yang penuh kasih dan penuh rahmat yang diwartakan oleh Yesus. Oleh karena itu, ia sama sekali menolak KS Ibrani dan hanya mengakui surat-surat Paulus serta Injil Lukas yang sudah dibersihkan dari unsur-unsur PL. Ia menafsirkan pribadi dan karya Kristus dengan kacamata docetisme. Pada mulanya Marcion mempunyai banyak pengikut. Ahli-ahli teologi terkenal seperti St. Ireneus dari Lyons dan Tertulianus merasa perlu menunjukkan kesalahan Marcion. Terbentuknya kanon KS, antara lain didorong oleh upaya untuk menanggapi ajaran sesat ini. Pada akhir abad ketiga, sebagian terbesar pengikut Marcionisme menjadi pengikut Manikeisme. Penolakan atau sikap menganggap rendah terhadap PL tetap merupakan godaan bagi orang-orang Kristiani. Gerald O. Collins SJ., Edward G. Farrugia SJ., Kamus Teologi, Kanisius, 1996, h. 189…red.

4  lih. Tertullianus, Against Marcion 5.

5  “Nowhere in his extant writings, however, do we find any specific listing or identification of precisely what was in Tetrullian’s Old Testament or New Testament”, McDonald, Biblical Canon, 304.

6  “Where the interpretation of the Bible was at issue, there was a tendency to maintain that only the catholic church had the right to interpret it, because the Bible was the church’s book; but in the Marcionite controversy an answer had to be given to the more fundamental question: What is the Bible?. . . If they had not given much thought to the limits of holy writ previously, they had to pay serious attention to the question now”, Dikutip dalam Bruce, Canon of Scripture, 129.

7  “The self authenticating character of the canon is demonstrated by the remarkable unanimity reached by the people of God on the canon”, Robert Godfrey, “What Do We Mean by Sola Scriptura? in Sola Scriptura! The Protestant Position on the Bible (Morgan, PA: Soli Deo Gloria Publications, 1995), 19. Sebuah argmuen yang sama dapat ditemukan dalam Roger Nicole, “The Canon of the New Testament”, Journal of the Evangelical Theology Society 40, no. 2 (June 1997).

8  “The notion of a closed New Testament canon was not a second-century development in the early church, and there were still considerable differences of opinion about what should comprise that canon even in the fourth and fifth centuries”, McDonald, Biblical Canon, 383.

9  “this has direct implications for the argument that the early church appealed to the Bible and the Bible alone for its doctrine: one cannot properly speak of a Bible in the first several centuries of the church’s existence”, Craig D. Allert, A High View of Scripture? The Authority of the Bible and the Formation of the New Testament Canon (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2007), 51.


Baca juga : Marcion (par.3), Justin Martyr, First Apology, bab. 26 (Marcion), Tertullianus (Against Marcion 4.40), Marcionisme (cat. kaki No.1), Didache, Dari Mana Kita Memperoleh Alkitab – Hutang Kita Kepada Gereja Katolik, Kanon Kitab Suci, BAB II. Kitab Suci dan Tradisi, Apa Otoritasmu?, Otoritas Tradisi Apostolik, Mengapa Itu Ada Dalam Tradisi.

Leave a comment