50. Gereja memiliki sejarah anti-Semitisme yang panjang dan buruk

a Mixed Bag

Keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Gereja Katolik selalu mengakui kebenaran ini. Sayangnya, beberapa umat Katolik kadang-kadang menganggap penolakan Kristus oleh orang-orang Yahudi pada masanya sebagai pembenaran untuk menganiaya atau mendiskriminasi keturunan mereka. Tetapi perilaku seperti itu tidak pernah didukung atau didorong oleh Gereja, dan jauh dari tindakan kasih yang tak terhitung jumlahnya yang ditunjukkan kepada orang Yahudi oleh umat Katolik selama sejarah Gereja. Gereja tidak lupa bahwa Yesus, Perawan Maria yang Terberkati, dan semua rasul adalah orang Yahudi. Terseraknya orang-orang Yahudi di dunia kuno sangat penting untuk penyebaran Iman: Ada “koloni-koloni” Yahudi di mana-mana di Kekaisaran Romawi di mana St. Paulus, khususnya, melakukan perjalanan untuk menyebarkan Injil.

Para paus memiliki sejarah panjang dalam membela orang-orang Yahudi dari penganiayaan oleh orang-orang Kristen yang sesat, tidak hanya di Roma tetapi juga di mana-mana di seluruh Tatanan kekristenan. Paus St. Gregorius Agung (memimpin Gereja tahun 590–604) melarang pertobatan secara paksa terhadap orang-orang Yahudi, dan mengizinkan mereka dengan bebas beribadah di Roma. Paus Kallistus II (memimpin Gereja tahun 1119-1124) mengutuk kekerasan anti-Yahudi, termasuk penghancuran sinagoga-sinagoga, dan seperti Gregorius melarang pertobatan secara paksa. Paus Bonifasius IX (memimpin Greja tahun 1389–1403) secara pribadi mempekerjakan para dokter Yahudi dan memberikan kewarganegaraan penuh kepada penduduk Yahudi di Roma. Paus Martinus V (memimpin Gereja tahun 1417–1431) mengeluarkan bulla pada tahun 1419, 1422, dan 1429 yang melarang penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi. Sedangkan orang Yahudi diusir dari Inggris (1290), Prancis (1306), Hungaria (1349), Austria (1422), Spanyol (1492),1 dan Portugal (1497), mereka terus hidup dengan damai di Roma dan Negara-negara Kepausan.2

Bahkan, tulis Cecil Roth, Ketua Oxford University of Jewish History dari tahun 1939–1964, “dari semua dinasti di Eropa, kepausan tidak hanya menolak untuk menganiaya orang Yahudi . . . tetapi selama berabad-abad para paus adalah pelindung orang-orang Yahudi. . . Yang benar adalah bahwa para paus dan Gereja Katolik sejak awal Gereja tidak pernah bertanggung jawab atas penganiayaan fisik terhadap orang Yahudi, dan hanya Roma, di antara ibu kota di dunia, yang bebas dari lokasi tragedi Yahudi. Untuk ini, kami orang Yahudi harus berterima kasih”.3 Fakta bahwa para paus harus mengeluarkan dokumen-dokumen yang melarang kekerasan terhadap kaum Yahudi membuktikan bahwa kekerasan seperti itu memang terjadi, tetapi juga menunjukkan bahwa itu tidak mencerminkan ajaran resmi Gereja.4

Perang Salib kadang-kadang disebut sebagai “Holocaust pertama”, di mana orang-orang Kristen harus disalahkan. Faktanya, Perang Salib memberikan contoh-contoh dimana Gereja melindungi orang Yahudi. Bt. Paus Urbanus II (memimpin Gereja tahun 1088–1099) menyerukan Perang Salib Pertama dan menetapkan 15 Agustus 1096, sebagai tanggal bagi kelompok-kelompok tentara untuk memulai pergerakan ke Konstantinopel. Namun, beberapa kelompok Tentara Salib mengabaikan tanggal keberangkatan yang ditetapkan paus dan berangkat untuk perjalanan mereka sesuai jadwal mereka sendiri.

Pengkhotbah populer Peter the Hermit (Petrus sang Pertapa) memotivasi orang-orang untuk memikul salib dan melakukan perjalanan ke Yerusalem sendiri dan bukan bagian dari kelompok tentara yang lebih besar. Beberapa dari kelompok ini terganggu oleh kehadiran orang-orang Yahudi di beberapa kota di sepanjang sungai Rhine. Count Emich dari Flonheim adalah salah satu Tentara Salib yang memandang kehadiran orang Yahudi dan uang mereka sebagai sarana untuk membiayai ekspedisinya ke Yerusalem. Dia mempertanyakan perlunya melakukan perjalanan ribuan mil ke timur untuk memerangi kaum Muslim sedangkan “para musuh Kristus” berada di halaman belakang orang-orang Kristen.

Emich dan kelompok pengikutnya yang perampok berbaris menyusuri Rhine pada Mei 1096 dan menjarah populasi besar Yahudi di Speyer, Worms, Mainz, Trier, dan Cologne. Tetapi berulang kali Emich mendapat tentangan dari uskup setempat, yang melindungi orang Yahudi dengan memberi mereka perlindungan di tempat tinggal pribadi mereka. Ini memaksa Emich untuk mengubah taktik: Dia memutuskan untuk menyerang kota-kota dengan populasi Yahudi yang besar di mana tidak ada uskup Katolik yang menetap! Kebenarannya sekali lagi jelas: pogroms (pembantaian terorganisir dari kelompok etnis tertentu, khususnya orang-orang Yahudi di Rusia atau Eropa Timur…red) Emich terhadap orang Yahudi tidak mencerminkan ajaran Gereja, melainkan bertentangan dengannya; dan otoritas-otoritas Gereja melakukan apa yang mereka bisa untuk menghentikannya. Perlu dicatat bahwa Emich dan gerombolan pembunuh dan perampoknya tidak pernah berhasil sampai ke Tanah Suci. Perlu dicatat lebih lanjut bahwa kronik-kronik Kristen kontemporer tentang Perang Salib mengutuknya. Pogroms ini tidak mengkonstitusikan sebuah kampanye pelecehan Yahudi yang berkelanjutan yang dianjurkan oleh Gereja.5

Setengah abad kemudian, ketika Tatanan Kristen dimobilisasi untuk Perang Salib Kedua untuk memulihkan kota Kristen Edessa di Timur Latin, pogroms kembali meletus di Rhineland, karena Tentara Salib menggunakan gerakan itu sebagai alasan untuk menyerang orang Yahudi. Dalam mewartakan Perang Salib, St. Bernardus dari Clairvaux (1090–1153) menegaskan, “Orang-orang Yahudi tidak boleh dianiaya, atau dibunuh, atau bahkan dipaksa untuk melarikan diri”.6 Sayangnya, seorang biarawan Cistercian bernama Radulf menentang Bernardus dengan mengkhotbahkan kekerasan terhadap orang Yahudi, mengumandangkan apa yang pernah dikatakan Emich dengan mempertanyakan mengapa perlu melakukan perjalanan ribuan mil dari rumah untuk melawan kaum Muslim sedangkan “para musuh Kristus” sudah dekat. Terinspirasi oleh Radulf, pogroms meletus di Rhineland, tetapi ini adalah “insiden yang terisolasi [dan] bukan pembantaian sistematis”. Ketika Bernardus menerima berita tentang khotbah palsu Radulf, dia berangkat ke Jerman untuk bertemu dengan biarawan yang bandel itu. Bernardus membungkam Radulf dan memerintahkannya kembali ke biara. Sekali lagi, otoritas Gereja terbukti menjadi teman dan pelindung orang Yahudi.

Eropa abad keempat belas menjadi saksi pandemi mematikan yang merenggut sepertiga dari populasinya. Dikenal kemudian sebagai “sampar”, apa yang kemudian disebut Black Death tidak hanya merenggut jutaan nyawa tetapi juga membuat trauma jiwa-jiwa para penyintas, yang dapat dimaklumi mencari penjelasan untuk bencana yang menghancurkan itu. Tragisnya, beberapa menyalahkan konspirasi Yahudi untuk membunuh orang Kristen.7 Keyakinan ini berasal dari Prancis selatan dan Spanyol, yang berisi 30 persen dari semua orang Yahudi Eropa.8 Pogroms sekali lagi meletus di Eropa; di Strasbourg, 900 orang Yahudi dibakar hidup-hidup oleh massa.9 Sekali lagi para gembala Gereja berusaha untuk melindungi orang-orang Yahudi: Uskup Agung Trier, misalnya, melakukan upaya untuk melindungi orang-orang Yahudi di keuskupannya, dan pada bulan Juli 1348 Paus Klemens VI (memimpin Gereja tahun 1342–1352) mengeluarkan sebuah bulla yang mengekskomunikasi setiap orang Kristen yang melecehkan orang Yahudi karena penyakit sampar.

Sejarah baru-baru ini memberikan banyak contoh upaya Kristen, terutama oleh para paus, untuk melindungi orang-orang Yahudi dari bahaya. Menyadari bahaya bagi orang-orang Yahudi di Eropa pada saat Perang Dunia Pertama, Paus Benediktus XV (memimpin Gereja tahun 1914–1922) mengeluarkan kutukan terhadap anti-Semitisme pada tahun 1916 dan pada tahun 1917 mengesahkan Deklarasi Balfour yang menyerukan sebuah tanah air Yahudi di tanah Suci. Paus juga bertemu dengan pemimpin Zionis Nahum Sokolow untuk menunjukkan dukungannya terhadap impian orang-orang Yahudi akan sebuah tanah air nasional. Penerus Benediktus, Pius XI (memimpin Gereja tahun 1922–1939), melanjutkan kebijakannya yang pro-Yahudi. Dia menuntut agar Konkordat Gereja tahun 1933 dengan Jerman menetapkan bahwa pemerintah Nazi harus mengakui orang Yahudi yang dibaptis sebagai orang Kristen. Ketika pemerintah Mussolini mengadopsi Hukum Rasial Italia yang anti-Yahudi (anti-Jewish Italian Racial Laws) pada tahun 1938, Pius mengatakan kepada sekelompok orang Belgia yang sedang berkunjung, “Tidak mungkin seorang Kristen mengambil bagian dalam anti-Semitisme. Hal ini tidak dapat diterima. Secara rohani kita semua adalah Semit”.10


Kisah Sebenarnya

Sepanjang sejarah Gereja, para pemimpinnya, terutama para Paus Roma, telah menjadi pelindung orang-orang Yahudi. Ketika orang-orang Kristen yang sesat mencari, untuk tujuan egois mereka sendiri, untuk menyakiti umat pilihan Allah, para uskup mereka akan menegur mereka dengan keras dan, bila perlu, bahkan memberikan perlindungan kepada orang Yahudi. Sama sekali tidak benar bahwa Gereja pernah mengajarkan atau mentolerir kebencian terhadap orang Yahudi. Faktanya, Gereja selalu mengajarkan bahwa keselamatan datang dari orang-orang Yahudi, dan bahwa kebencian terhadap ras manusia mana pun sama sekali bertentangan dengan Injil (KGK 839 dan 597). Sungguh ironi bahwa Gereja dituduh anti-Semitisme, terlepas dari semua bukti yang bertentangan, ketika para pemimpin agama lain justru mendorong kekerasan terhadap orang-orang Yahudi.

Pada tahun 1543, misalnya, Martin Luther menerbitkan sebuah traktat berjudul On the Jews and their Lies di mana ia menganjurkan delapan poin rencana untuk memberantas orang-orang Yahudi dari masyarakat Jerman.11 Pendiri Islam, Muhammad, pada awalnya mencoba merayu orang-orang Yahudi di Medina untuk mendukungnya dengan mengadopsi praktik, tradisi, dan pantangan makanan Yahudi tertentu, tetapi ketika mereka tidak menerima gerakan barunya, dia mengeksekusi beberapa ratus pria Yahudi di Medina. Itu kelak menetapkan standar perilaku Muslim terhadap orang Yahudi selama berabad-abad yang akan datang. Pada tahun 1920-an, seorang pemimpin Muslim bernama Amin al-Husseini (1893–1974), seorang penentang Zionisme, mensponsori serangan teroris terhadap orang-orang Yahudi di Palestina; ia menjadi mufti agung Yerusalem pada tahun 1922. Selama Perang Dunia II, al-Husseini bertemu dengan Hitler beberapa kali, dan menganggap Adolf Eichmann, penyelenggara utama Holocaust, sebagai teman pribadi. Instruksinya kepada para pengikutnya untuk “membunuh orang-orang Yahudi di mana pun kamu menemukan mereka; ini menyenangkan Tuhan, sejarah dan agama” disiarkan melalui radio Nazi selama perang.12 Setelah perang, al-Husseini membantu menciptakan Organisasi (teroris) Pembebasan Palestina (Palestinian Liberation Organization). Gereja Katolik (dulu dan sekarang) bukanlah musuh orang Yahudi, juga tidak mengajarkan kekerasan terhadap mereka.


1  Pengusiran orang-orang Yahudi dari Spanyol terkadang dikaitkan dengan Gereja; namun, satu-satunya tanggung jawab terhadap hal itu terletak pada monarki. Raja Fernando dan Ratu Isabel percaya kehadiran orang-orang Yahudi memiliki efek negatif pada masyarakat Spanyol. Perintah pengusiran mereka ditujukan untuk pertobatan, harapannya adalah bahwa orang-orang Yahudi akan memilih untuk tinggal di Spanyol sebagai orang Kristen yang dibaptis baru.

2  Lih. David G. Dalin, The Myth of Hitler’s Pope: How Pope Pius XII Rescued Jews from the Nazis (Washington, DC: Regnery Publishing, 2005), 18.

3  David Goldstein, Jewish Panorama (Boston: Catholic Campaigners for Christ, 1940), 200. Dikutip dalam Dalin, The Myth of Hitler’s Pope, 19.

4  Demikian pula, penggunaan alat kontrasepsi oleh banyak umat Katolik masa kini tidak mengubah fakta bahwa ajaran Gereja melarangnya.

5  Lih. Tyerman, God’s War, 105.

6  Bernardus, Epistolae. Dikutip dalam Chronicles of the Crusades: Nine Crusades and Two Hundred Years of Bitter Conflict for the Holy Land Brought to Life Through the Words of Those Who were Actually There, ed. Elizabeth Hallam (New York: Weidenfeld and Nicolson, 1989), 126.

7  Salah satu alasan untuk kepercayaan yang tidak masuk akal ini adalah bahwa orang-orang Yahudi tampaknya kurang rentan terhadap wabah, yang mungkin hanya karena kebanyakan orang Yahudi tinggal lebih jauh daripada kebanyakan orang Kristen dari daerah dengan konsentrasi tinggi hewan pengerat (dermaga-dermaga di kota-kota pelabuhan) dan ternak (di pedesaan Inggris). Hukum dan kebiasaan Yahudi tertentu mungkin telah bertindak sebagai lapisan perlindungan tambahan. Lih. Norman F. Cantor, In the Wake of the Plague: The Black Death and the World It Made (New York: Harper Perennial, 2002), 163.

8  Cantor, In the Wake of the Plague, 150.

9  Hanya ada 1,884 orang Yahudi di dalam kota. Lih. Cantor, In the Wake of the Plague, 157.

10 Sritually, we are Semits diakses Mei 12, 2017.

11  Lih. On the Jews and Their Lies. Tulisan-tulisan Luther mempengaruhi para pemimpin Nazi Jerman. Lih. William L. Shirer, The Rise and Fall of the Third Reich, 236.

12  Dalin, The Myth of Hitler’s Pope, 137.


Baca juga : Pertobatan dengan pedang, Para Misionaris mempertobatkan dengan cara paksa, Perang Salib, On the Jews and Their Lies 1, On the Jews and Their Lies 2.

Leave a comment