5. Kanon Kitab Suci

Mengapa Itu Ada Dalam Tradisi?

Kata “kanon” berasal dari kata Yunani kanon, yang berarti “tongkat pengukur” atau sebuah aturan (rule; juga berarti mistar…red) yang menentukan. Dalam kasus Kitab Suci, kanonnya adalah daftar resmi dari kitab-kitab yang diilhami yang, jika digabungkan, membentuk apa yang kita kenal sebagai Alkitab. Koleksi resmi dari tujuh puluh tiga kitab terilham dari Perjanjian Lama dan Baru itu sendiri merupakan bagian dari wahyu Allah kepada Gereja. Dia sendirilah yang membuat buku-buku ini diilhami dan, berdasarkan fakta itu, kanonik (bdk. 2 Tim 3:16) — bukan Gereja Katolik. Dan ini adalah isu kunci dalam memahami Tradisi kanon Kitab Suci. Banyak orang non-Katolik, khususnya Protestan Fundamentalis dan Evangelis, menentang karikatur ajaran Katolik dengan membayangkan, secara keliru, bahwa Gereja Katolik mengklaim bahwa dia sendiri yang membuat buku-buku ini menjadi kanonik. Itu tidak benar. Gereja Katolik adalah penerima wahyu Tuhan tentang buku mana yang diilhami dan mana yang tidak. Dan karena Tuhan mengungkapkan kebenaran ini, maka itu merupakan bagian dari Perbendaharaan Iman, sebuah Tradisi yang berasal dari Tuhan, bukan dari manusia. Tepat dalam ranah pengajaran, St. Paulus berkata: “berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran (Traditions) yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis” (2 Tes 2:15).

Semua orang Protestan menerima Tradisi Katolik yang penting ini, meskipun biasanya tanpa menyadari bahwa itu adalah Tradisi Katolik, dan ironisnya mereka menerimanya, sementara pada saat yang sama mereka mengutuk Tradisi Katolik! Mari kita gunakan kanon Perjanjian Baru untuk mengilustrasikan hal ini. Jika Anda membuka Versi Protestan; King James atau New International Version (atau versi yang lainnya) dari Alkitab Protestan yang umum digunakan, Anda akan menemukan dua puluh tujuh kitab yang sama dalam Perjanjian Baru seperti yang akan Anda temukan pada Alkitab Katolik mana pun — Matius sampai Wahyu. Kitab-kitab yang sama dalam urutannya yang sama. Bagaimana mereka sampai seperti itu?

Jawabannya, tentu saja adalah bahwa, Alkitab Protestan itu bergantung sepenuhnya pada Tradisi Katolik (walaupun editornya kemungkinan besar tidak akan mengakuinya) untuk mengetahui kitab-kitab mana yang termasuk dalam Perjanjian Baru. Tradisi kanon Perjanjian Baru ini diwahyukan oleh Tuhan, diterima dan dipahami oleh Gereja, akhirnya dikodifikasikan dan dibuat formal, dan diturunkan pada Gereja selama sembilan belas abad terakhir melalui Tradisi lisan. Atau, dengan kata lain, Tradisi yang begitu penting bagi orang Kristen untuk “berdiri teguh dan berpegang” ini datang kepada kita sepenuhnya di luar halaman-halaman Kitab Suci itu sendiri. Setiap para Saksi Yehuwa, Mormon, atau Protestan “Kristen Alkitab” (Bible Christian) yang Anda temui bergantung pada Tradisi Katolik yang vital ini, jika tidak, dia tidak akan memiliki Alkitab. Dan itulah ironi terbesar dari semuanya: non-Katolik yang mendekati Anda dengan Alkitab di tangannya, mengutip ayat-ayat Alkitab kiri dan kanan dalam upaya untuk menyangkal ajaran Katolik yang diberikan, bahkan tidak akan memiliki Alkitab jika bukan karena Gereja Katolik.

Untuk meringkas Tradisi kuno Gereja Katolik tentang kanon Perjanjian Lama dan Baru, mari kita kembali ke Katekismus untuk mengulang ajaran resmi Katolik:

“Dalam tradisi apostolik Gereja menentukan, kitab-kitab mana yang harus dicantumkan dalam daftar kitab-kitab suci (bdk. DV 8,3). Daftar yang lengkap ini dinamakan “Kanon” Kitab Suci. Sesuai dengan itu Perjanjian Lama terdiri dari 46 (45, kalau Yeremia dan Lagu-lagu Ratapan digabungkan) dan Perjanjian Baru terdiri atas 27 kitab (bdk. DS 179:1334-1336:1501-1504).

Perjanjian Lama: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-Hakim, Rut, dua buku Samuel, dua buku Raja-Raja, dua buku Tawarikh, Esra dan Nehemia, Tobit, Yudit, Ester, dua buku Makabe, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan, Yesus bin Sirakh, Yesaya, Yeremia, Ratapan, Barukh, Yeheskiel, Daniel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi.

Perjanjian Baru: Injil menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, Kisah para Rasul, surat-surat Paulus: kepada umat di Roma, surat pertama dan kedua kepada umat Korintus, kepada umat di Galatia, kepada umat di Efesus, kepada umat di Filipi, kepada umat di Kolose, surat pertama dan kedua kepada umat di Tesalonika, surat pertama dan kedua kepada Timotius, surat kepada Titus, surat kepada Filemon, surat kepada orang Ibrani, surat. Yakobus, surat pertama dan kedua Petrus, surat pertama, kedua, dan ketiga Yohanes, surat Yudas, dan Wahyu kepada Yohanes” (KGK 120).

Proses penentuan secara resmi sejauh mana kanon itu begitu panjang dan melelahkan. Kita dapat melihat berbagai contoh para Bapa Gereja yang dihormati, seperti St. Athanasius atau St. Jerome, mengusulkan kanon-kanon yang sedikit berbeda dari versi resmi yang akhirnya ditetapkan.1 Ini seharusnya tidak mengganggu kita karena kita tentunya berharap untuk menemukan setidaknya beberapa perbedaan pendapat tentang masalah ini selama tahun-tahun sebelum masalah itu diselesaikan secara definitif oleh Gereja. St. Athanasius, misalnya, memperjuangkan kanon yang sedikit berbeda dari yang kita miliki saat ini. St. Jerome, sebagai contoh, tidak merasa bahwa kitab-kitab Deuterokanonika2 harus dianggap sebagai bagian dari kanon Perjanjian Lama, bukan karena ia tidak setuju dengan apa pun yang terkandung di dalamnya, tetapi karena orang-orang Yahudi (pada saat itu) tidak memasukkan kitab-kitab itu dalam kanon mereka. Akan tetapi, bahkan para sarjana alkitabiah yang paling cemerlang pun harus menerima otoritas magisterium, dan tampaknya jelas bahwa St. Jerome menerimanya. Baik Paus St. Damasus, pada tahun 382 dalam sebuah sinode di Roma, dan Paus St. Innocentius I, dalam 405 surat kepada seorang uskup Galia menjawab pertanyaannya tentang ruang lingkup kanon, mengajarkan bahwa kanon Perjanjian Lama termasuk kitab-kitab Deuterokanonika. Apa yang diajarkan oleh para paus ini sepenuhnya didukung oleh Konsili Kartago di Afrika Utara (393, 397, 419) dan Hippo (393), serta oleh Konsili Nicea II (787), Konsili Florence (1434-1445) , dan Konsili Trente (1545-1563).


1  Di sini merujuk pada kanon Perjanjian Lama, di mana ada beberapa perselisihan, bahkan di antara para teolog Katolik terkemuka, seperti Athanasius, Jerome, dan lain-lain, mengenai sejauh mana kanon dan apakah kitab-kitab Deuterokanonika (lihat catatan kaki berikut) harus diterima.

2  Yaitu tujuh kitab Perjanjian Lama (Sirakh, Tobit, Kebijaksanaan, Barukh, Yudith, 1 dan 2 Makabe, sebagaimana juga bagian-bagian dari Ester dan Daniel) yang umumnya dikenal sebagai kitab-kitab “Deuterokanonika”.


Baca juga : Dari Mana Kita Memperolah Alkitab?, BAB II : Kitab Suci dan Tradisi, Studi Alkitab.

Leave a comment