MENGAPA ITU ADA DALAM TRADISI?

Patrick Madrid

Patrick Madrid adalah penulis terlaris dari dua belas buku bertema Katolik termasuk Search and Rescue, Answer Me This!, Pope Fiction, dan seri Surprised by Truth yang terkenal. Dia membawakan acara radio Open Line dari Radio EWTN edisi Kamis, pembawa acara empat serial televisi EWTN dan sebagai editor www.envoymagazine.com , majalah cetak dan digital dari apologetika dan evangelisasi Katolik. Sebagai seorang presenter seminar yang populer, Patrick telah berbicara di banyak paroki, universitas dan konferensi di Amerika Utara, Eropa, Asia dan Amerika Latin. Dia dan istrinya, Nancy, telah dikaruniai sebelas anak yang bahagia dan sehat. Untuk informasi lebih lanjut tentang karyanya, silakan kunjungi www.patrickmadrid.com


Pengantar

”Para bid’ah dan ajaran-ajaran sesat tertentu, menjerat jiwa-jiwa dan melemparkan mereka ke kedalaman, tidak muncul kecuali ketika Kitab Suci yang benar tidak dipahami dengan benar dan hanya ketika apa yang tidak dipahami dengan benar di dalamnya dinyatakan dengan gegabah dan lancang”
St. Augustinus dari Hippo, Traktat 18 tentang Injil Yohanes

i. Apakah Tradisi Hanyalah Sebuah Permainan ‘Telepon’?


Sejak awal, Gereja Katolik telah memproklamirkan dan mempertahankan titipan perbendaharaan Iman yang diberikan kepadanya oleh Kristus dan para Rasul. Perbendaharaan Iman itu tidak lengkap jika kehilangan Tradisi lisan yang menjadi bagian darinya, seperti halnya juga tidak lengkap jika kehilangan Tradisi tertulis yang menjadi bagian darinya. Tugas kita sebagai orang Kristen adalah untuk mengindahkan kata-kata St. Paulus: “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis” (2 Tes 2:15)

ii. Apa Itu Tradisi?


“Sebuah Katekismus harus dengan setia dan sistematis menyajikan ajaran Kitab Suci, Tradisi yang hidup dalam Gereja dan Magisterium yang otentik, serta warisan spiritual para Bapa, Pujangga dan para santo Gereja, untuk memungkinkan pengetahuan yang lebih baik tentang Misteri Kristen dan untuk menghidupkan iman Umat Allah. Ini harus mempertimbangkan pernyataan-pernyataan doktrinal yang telah disampaikan oleh Roh Kudus selama berabad-abad kepada Gereja-Nya. Ini juga harus membantu menerangi dengan cahaya iman situasi-situasi dan masalah-masalah baru yang belum muncul di masa lalu”
– Fidei Depositum, subsection 2

iii. Apa Yang Dikatakan Alkitab Tentang Tradisi Suci


“Tradisi yang kita bicarakan di sini, berasal dari para Rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum mempunyai Perjanjian Baru yang tertulis, dan Perjanjian Baru itu sendiri memberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu.Tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis atau religius, yang dalam gelindingan waktu terjadi di Gereja-gereja setempat, bersifat lain. Mereka merupakan ungkapan-ungkapan Tradisi besar yang disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dalam terang Tradisi utama dan di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, tradisi-tradisi konkret itu dapat dipertahankan, diubah, atau juga dihapus” (KGK 83)

iv. Contoh Tradisi Lisan yang Disebutkan dalam Perjanjian Baru


” Ia akan disebut: ‘Orang Nazaret’ ”, “Kursi” Musa, “batu karang” rohani yang mengikuti bangsa Israel, Para Penyihir Istana Firaun, St. Mikael sang penghulu malaikat vs iblis.

v. Contoh Tradisi Lisan dan Kebiasaan Yang Tidak Eksplisit dalam Kitab Suci


Berikut adalah sebagian daftar contoh dari Tradisi dan kebiasaan tradisional yang tidak eksplisit dalam Kitab Suci tetapi yang telah dipercayai dan ditaati (dirayakan) oleh umat Kristen sejak tahun-tahun awal Gereja. Referensi satu dengan yang lainnya menunjukkan hanya satu atau dua dari banyak contoh yang dapat dikutip untuk setiap entri sebagai bukti dari suara otoritatif pada Gereja mula-mula yang mengajarkan persoalan tersebut. Contoh-contoh ini dimaksudkan hanya untuk menunjukkan kekunoan Tradisi dan kebiasaan Katolik.

vi. Cara Menggunakan Buku Ini


Buku ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan studi Anda pada Katekismus Gereja Katolik dan Kitab Suci. Justru sebaliknya! Kedua sumber ajaran Katolik yang kaya itu sangat diperlukan bagi umat Katolik dan non-Katolik saat ini. Why Is That in Tradition? adalah alat referensi yang dapat membantu Anda mempelajari lebih dalam perbendaharaan doktrin dan adat kebiasaan Gereja. Faktanya, semua masalah yang dibahas dalam buku ini mudah ditemukan dalam Katekismus, yang pada gilirannya akan memberi Anda ayat-ayat terkait dalam Kitab Suci dan tulisan-tulisan Gereja mula-mula yang secara luar biasa melengkapi pemahaman Anda tentang ajaran Katolik.

BAGIAN I : OTORITAS

1. Keutamaan Petrus dan Pengganti-penggantinya


Satu hal yang perlu diingat ketika Anda membaca kutipan-kutipan ini: pernyataan-pernyataan tegas yang konstan dan universal dari para penulis Kristen mula-mula tentang otoritas paus, serta pernyataan-pernyataan tegas tentang efek yang dibuat oleh para paus itu sendiri, tidak pernah dibantah oleh umat kristen “ortodoks” lainnya. Dengan kata lain, fakta bahwa ada klaim dan pengakuan yang tak terbantahkan atas keutamaan kepausan, yang berasal dari para uskup di Timur maupun di Barat, menunjukkan bahwa doktrin keutamaan kepausan bukanlah “ciptaan Katolik” di kemudian hari tetapi dipahami sebagai Tradisi yang datang langsung dari Kristus1 dan para Rasul.

2. Uskup Roma Memiliki Otoritas Unik


Ada banyak contoh dari para Bapa Gereja mula-mula yang dapat kita gunakan untuk menunjukkan bahwa paus memiliki keutamaan otoritas yang khusus dalam Gereja, otoritas yang dengan segera diterima, bahkan kadang-kadang dengan begitu semangatnya dipertahankan, oleh para uskup dari keuskupan lain. Salah satu contoh yang sangat mencolok dari seorang uskup Roma mula-mula yang mempraktekkan keutamaan yurisdiksi ini adalah pada masa kepemimpinan Paus Victor I. Pada tahun 190, yang dikenal dengan quartodeciman controversy.

3. Uskup Roma Adalah Penerus Petrus


“Para rasul yang terberkati [Petrus dan Paulus], setelah mendirikan dan membangun gereja [Roma], mereka menyerahkan jabatan uskup kepada Linus. Paulus menyebutkan Linus ini dalam suratnya kepada Timotius [2 Tim 4:21]. Dia menggantikan Anakletus, dan setelah dia, di tempat ketiga dari para rasul, Klemens dipilih sebagai uskup… untuk Klemens ini, Evaristus menggantikannya… dan sekarang, di tempat kedua belas setelah para rasul, semua keuskupan [Roma] telah sampai kepada Eleutherus. Dalam urutan ini, dan oleh ajaran para rasul yang diturunkan dalam Gereja, berita kebenaran telah sampai kepada kita”
– St. Irenaeus dari Lyons, 189 M – Against Heresies 3:3:3

4. Otoritas Tradisi Apostolik


Beberapa contoh pernyataan patristik beikut ini, yang diambil dari tujuh abad pertama Kekristenan, sudah cukup untuk membuktikan bahwa orang Kristen paling awal memandang Tradisi Suci sebagai sesuatu yang otoritatif dan perlu. Tradisi, bagi orang Kristen awal sebagaimana juga sekarang bagi orang Kristen zaman modern, adalah cara Gereja untuk memastikan bahwa ajarannya sesuai dengan apa yang diajarkan Kristus dan para Rasul. Para bidat tidak dapat merujuk (atau naik banding) pada sebuah Tradisi yang tak terputus dari interpretasi otentik dari bagian-bagian Kitab Suci itu. Namun, Gereja Katolik dapat melakukannya. Dan dengan rujukannya kepada otoritas Tradisi Apostolik, sebagai pernyataan persetujuan yang diperlukan untuk Kitab Suci, Gereja mampu menghadapi dan mengalahkan tantangan doktrinal yang diajukan oleh para bidat.

5. Kanon Kitab Suci


Tanpa disadari, semua orang Protestan menerima Tradisi Katolik yang penting ini, dan ironisnya mereka menerimanya, sementara pada saat yang sama mereka mengutuk Tradisi Katolik! Bukalah Alkitab Versi Protestan yang umum digunakan, Anda akan menemukan dua puluh tujuh kitab yang sama dalam Perjanjian Baru seperti yang akan Anda temukan pada Alkitab Katolik mana pun. Kitab-kitab yang sama dalam urutannya yang sama. Bagaimana mereka sampai seperti itu? Jawabannya, Alkitab Protestan itu bergantung sepenuhnya pada Tradisi Katolik untuk mengetahui kitab-kitab mana yang termasuk dalam Perjanjian Baru, jika tidak, mereka tidak akan memiliki Alkitab. Dan itulah ironi terbesar dari semuanya: para non-Katolik yang mendekati Anda dengan Alkitab di tangannya dan mengutip ayat-ayat Alkitab kiri dan kanan dalam upaya untuk menyangkal ajaran Katolik yang diberikan, sesungguhnya tidak akan memiliki Alkitab jika bukan karena Gereja Katolik.

BAGIAN II : DOKTRIN-DOKTRIN

6. Trinitas


Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan; dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal. Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa; segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Ia turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita. Ia dikandung dari Roh Kudus, Dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia. Ia pun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus; Ia menderita sampai wafat dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci. Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa. Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati; kerajaan-Nya takkan berakhir. aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa dan Putra, yang serta Bapa dan Putra, disembah dan dimuliakan; Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. aku mengakui satu pembaptisan akan penghapusan dosa. aku menantikan kebangkitan orang mati dan hidup di akhirat. amin.
– Syahadat Nicea – Konstantinopel

7. Maria Sebagai Bunda Allah dan Keperawanannya yang Abadi


Theotokos (Yun. Yang melahirkan Allah). Gelar yang diberikan kepada Maria dan sudah digunakan sekurang-kurangnya pada zaman Origenes (185-254) untuk menyatakan bahwa Maria melahirkan Putra Allah. Dalam Gereja Latin, meskipun padanannya yang tepat adalah Deipara, yang dipakai adalah gelar Deigenetrix (Lat. Bunda Allah). Ketika Nestorius dari Konstantinopel mempertanyakan gelar yang populer ini, Konsili Efesus (431) mempersalahkannya dan – untuk mempertahankan kesatuan pribadi Kristus – menyatakan sahnya gelar Theotokos (DS 250-252). Yang dilahirkan oleh Maria bukan sekedar seorang manusia melainkan Putra Allah sendiri.
Gerald O. Collins, SJ., dan Edward G. Farrugia, SJ., KAMUS TEOLOGI, Kanisius, Yogyakarta, 1996, h. 331

8. Penghormatan Kepada Maria dan Para Kudus Serta Berdoa Kepada Mereka


“Sebuah fenomena yang sangat penting dalam periode patristik (yaitu, pada masa para Bapa Gereja; dari era apostolik hingga, kira-kira, abad kedelapan) adalah kebangkitan dan perkembangan bertahap dari penghormatan kepada para santo-santa, lebih khusus lagi bagi Santa Perawan Maria….Yang paling awal dalam hal itu adalah pemujaan1 kepada para martir, para pahlawan Iman yang dianggap orang Kristen sudah berada di hadirat Allah dan mulia di hadapan-Nya (bdk. Surat Paus St. Klemens Epistle to the Corinthians 5:4). Pada awalnya itu berupa pelestarian relikwi-relikwi mereka dengan hormat dan perayaan tahunan ‘ulang tahun’ mereka (yaitu, tanggal kemartiran mereka di mana mereka dilahirkan kembali ke kehidupan abadi). Daengan demikian adalah masuk akal, karena mereka (para Martir) sekarang bersama Kristus dalam kemuliaan, untuk mencari bantuan dan doa-doa mereka…”
– Sejarawan Protestan J.N.D. Kelly

9. Purgatorium dan Doa-doa Kepada Mereka yang Telah Meninggal


Masalah ini merupakan batu sandungan utama bagi banyak orang non-Katolik, terutama Protestan dan Saksi-Saksi Yehuwa. Tradisi Katolik mengenai Api Penyucian dan berdoa untuk ketenangan jiwa-jiwa di Api Penyucian (berdoa untuk orang-orang yang telah meninggal) memiliki dasar dalam doktrin Persekutuan Para Kudus. Sebuah doa Katolik umum yang berasal dari Tradisi ini adalah “Semoga jiwa orang-orang beriman yang telah meninggal beristirahat dalam damai. Amin.” Doa sederhana yang luar biasa ini mengungkapkan dengan sangat baik solidaritas yang kita miliki di dalam Kristus dengan semua anggota tubuh-Nya, termasuk mereka yang menderita di api penyucian.

BAGIAN III : SAKRAMEN-SAKRAMEN

10. Sakramen Baptis dan Efeknya


Tradisi ini berasal dari ajaran Kristus dan para Rasul tentang sifat dan akibat-akibat dari sakramen baptis. Ini adalah salah satu contoh spektakuler dari Tradisi Katolik yang dapat dengan mudah ditelusuri dalam bentuknya yang sekarang dari hari ini sampai ke zaman Kristus dan para Rasul, dan pada dasarnya tidak ada perubahan dalam cara ajaran itu diungkapkan dulu versus sekarang. Kesaksian Gereja mula-mula jelas bahwa Tradisi doktrinal ini dijelaskan dan diajarkan dalam istilah yang sama seperti sekarang ini.

11. Baptisan Bayi


Tradisi baptisan bayi ini setua Gereja Katolik itu sendiri, dan ditemukan pada tahun-tahun awal pelayanan Gereja. Kenyataannya, tradisi Katolik tentang pembaptisan bayi — sesuatu yang sangat ditentang oleh banyak kelompok non-Katolik, terutama oleh banyak Protestan — adalah praktik umum di Gereja mula-mula.

12. Tiga Model Baptisan: Dibenam, Dituang, Dipercik


“Mengenai baptisan, baptislah demikian: Setelah terlebih dahulu melatih semua hal ini, ‘baptislah, dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus,’ dalam air yang mengalir; tetapi jika kamu tidak punya air yang mengalir, baptislah dengan air yang lain, dan jika kamu tidak dapat [membaptis] dalam [air] dingin, maka [air] hangat. Tetapi jika kamu tidak memiliki keduanya, tuangkan air tiga kali ke atas kepala ‘dalam Nama Bapa, Putera dan Roh Kudus.’ Dan sebelum pembaptisan biarlah pembaptis dan dia yang akan dibaptis berpuasa, dan setiap orang lain yang sanggup. Dan engkau harus meminta dia yang akan dibaptis [yaitu, orang dewasa] untuk berpuasa satu atau dua hari sebelumnya” (Didache, section 7).

13. Mengaku Dosa Pada Imam


Tradisi doktrinal pengakuan dosa kepada seorang imam adalah salah satu yang sering mendapat serangan dari non-Katolik, terutama Protestan. Yesus Kristus sendirilah yang menyatakan kepada para Rasul-Nya: “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:22-23). Didache, dokumen Kristen mula-mula yang ditulis pada akhir abad pertama menyatakan tentang sakramen pengakuan dosa dengan gambaran yang jelas tentang ajaran Gereja pada waktu itu: “Dalam jemaat kamu harus mengakui pelanggaran-pelanggaranmu, dan jangan berdoa dengan hati nurani yang jahat… (Didache 4:14) Pada Hari Tuhan [yakni Hari Minggu], berkumpullah bersama, pecahkanlah roti dan adakanlah Ekaristi, setelah mengakui pelanggaran-pelanggaranmu agar persembahanmu menjadi murni; tetapi janganlah seorang pun yang berselisih dengan sesamanya bergabung dalam pertemuanmu sampai mereka didamaikan, agar pengorbananmu [yakni kurban Ekaristi] tidak dicemarkan” (Didache 14:1).

14. Liturgi Ekaristi


Liturgi Ekaristi telah menjadi Tradisi yang selalu ada di mana-mana di Gereja sejak zaman Kristus dan para Rasul. Apa yang membuat Tradisi ini begitu kuat ketika seorang Katolik berdialog dengan Protestan adalah bahwa tidak dapat disangkal bahwa orang-orang Kristen awal tidak berkumpul untuk “kebaktian hari Minggu” (Sunday Service), seperti yang biasanya dipahami oleh orang-orang Protestan. Sebaliknya, umat Kristen mula-mula berkumpul untuk merayakan kurban Ekaristi, lengkap dengan doa-doa esensial serta gerak tubuh yang kita gunakan saat ini dalam Gereja Katolik (juga dalam Gereja-gereja Katolik Timur dan Ortodoks).

15. Misa Sebagai Sebuah Kurban


Jika Anda membahas Misa dengan seorang Protestan Evangelis atau Fundamentalis, Anda mungkin akan dihantam dengan argumen bahwa Kristus mati “sekali untuk selamanya” (lih. Ibr 10:10). “Dan jika, seperti yang dikatakan dengan sangat jelas dalam Alkitab, bahwa Dia mati ‘sekali untuk selamanya’ ”, bantah Protestan, “bagaimana mungkin Gereja Katolik membenarkan tradisinya bahwa Misa adalah ‘pengorbanan Kristus yang tidak berdarah di Kalvari’?” Sekarang mari kita perhatikan contoh-contoh representatif tentang bagaimana Tradisi ini dalam Gereja dan mengapa orang Kristen sejak zaman para Rasul percaya pada Tradisi ini.

16. Transubstansi dan Kehadiran Nyata


“Ketika [Yesus Kristus] memberikan roti, Dia tidak mengatakan, ‘Inilah simbol tubuh-Ku,’ melainkan, ‘Inilah tubuh-Ku.’ Dengan cara yang sama, ketika Dia memberikan cawan darah-Nya, Dia tidak berkata, ‘Inilah simbol darah-Ku,’ melainkan, ‘Inilah darah-Ku,’ karena Dia menghendaki kita memandang [roti dan anggur yang disajikan dalam Liturgi Ekaristi], setelah penerimaan rahmat dan kedatangan Roh Kudus, bukan menurut sifatnya (nature), tetapi menerima mereka apa adanya, tubuh dan darah Tuhan kita” (Catechetical Homilies 5:1). Uskup Theodorus dari Mopsuestia, sekitar tahun 405.

BAGIAN IV : ADAT DAN KEBIASAAN

17. Patung dan Ikon


Perlu diingat bahwa dalam tiga abad pertama Gereja perdana ada kecenderungan umum (tetapi tidak mutlak) untuk tidak memberi penekanan pada ikon. Faktanya, karena Kekristenan berasal dari akar Yahudi, dan karena orang-orang Yahudi sangat waspada terhadap segala bentuk penyembahan berhala, seharusnya tidak mengejutkan kita bahwa orang-orang Kristen awal sebagian besar mengabaikan ikon atau gambar manusia dan lebih memilih untuk puas dengan ikon-ikon simbolis mereka yang sederhana seperti ikan, jangkar, domba, dan gembala. Bahkan, setidaknya sejak awal abad kedua, orang Kristen menjadi semakin produktif dalam penggunaan patung-patung kudus. Awalnya sederhana dan simbolis. Ribuan ikon Kristen primitif yang terdiri dari gambar-gambar sederhana masih ada di seluruh katakombe di Roma — roti dalam keranjang (yaitu, Ekaristi), seorang gembala (Kristus), seekor domba (Kristus), sebuah jangkar (kesetiaan Kristus kepada umat-Nya), pohon anggur (Kristus dan para pengikut-Nya), dan tentu saja simbol ikan yang sangat populer (Kristus).

18. Penghormatan Relikwi


“Kami tidak menyembah, kami tidak memuja [Latin: non colimus, non adoramus], karena takut bahwa kami harus tunduk kepada ciptaan daripada Pencipta, tetapi kami memuliakan [Latin: honoramus] relikwi-relikwi para martir agar menyembah Dia dengan lebih baik yang karena-Nya mereka mati syahid”
– St. Jerome, To Riparius.

19. “KATOLIK” Nama Gereja Kristen yang Asli


Dalam Gereja Katolik… ada banyak hal yang paling bisa menahanku di pangkuannya. Kebulatan suara umat dan bangsa membuatku tetap di sini. Otoritasnya, diresmikan (inaugurated) dalam mukjizat, (nourished) dipelihara oleh harapan, ditambah (augmented) dengan cinta, dan dikuatkan (confirmed) oleh usianya, membuatku tetap di sini. Suksesi para imam, dari Tahta Rasul Petrus [yaitu, dari Roma, lokasi paus, penerus St Petrus], yang kepadanya Tuhan, setelah Kebangkitan-Nya, memberi tugas untuk memberi makan domba-domba-Nya [menggembalakan domba-domba-Nya; lih. Yoh 21:15-18], hingga ke keuskupan sekarang [uskup Roma pada waktu itu], menahanku di sini. Dan terakhir, nama ‘Katolik’, yang, bukan tanpa alasan, hanya milik Gereja ini, di hadapan begitu banyak bidat, sedemikian rupa sehingga, meskipun semua bidat ingin disebut ‘Katolik,’ ketika orang asing bertanya di mana Gereja Katolik bertemu, tidak ada bidat yang berani menunjukkan basilika atau rumahnya sendiri (Augustinus, Against the Letter of Mani Called ‘The Foundation’ 4:5, 397 M).

20. Memanggil Para Imam dengan “Bapa”


Maksud Kristus adalah untuk menjauhkan kita dari memandang manusia mana pun seolah-olah dia adalah bapa kita seperti cara kita memandang Allah yang adalah satu-satunya Bapa kita. Niat-Nya bukan untuk melarang kita secara harfiah menyebut para imam sebagai “bapa”, dan kita dapat membuktikan bahwa dengan fakta bahwa, sementara di bawah ilham Roh Kudus, St. Stefanus secara terbuka menyebut para pemimpin Yahudi sebagai “saudara-saudara dan bapak-bapak” (Kis 7:2). St Paulus juga menambahkan bahwa “Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu. Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!” (1 Kor 4:15-16).

21. Air Suci


Setiap kali seorang Katolik memasuki gereja dan mencelupkan tangannya ke dalam wadah air suci untuk memberkati dirinya dengan tanda salib, dia memperbarui perjanjian baptisannya dengan Tuhan. Tindakan penuh rahmat ini mengingatkan kata-kata St. Paulus di atas serta mengingatkan kita akan baptisan kita “dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus” (Mat 28:19).

22. Sakramentali


Selain itu Bunda Gereja kudus telah mengadakan sakramentali, yakni tanda-tanda suci, yang memiliki kemiripan dengan Sakramen-sakramen. Sakramentali itu menandakan kurnia-kurnia, terutama yang bersifat rohani, dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Melalui sakramentali itu hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama Sakramen-sakramen dan pelbagai situasi hidup disucikan. (Sacrosanctum Concilium 60)

23. Dupa dan Lilin Dalam Upacara-upacara Liturgi


“Karena pikiran sama sekali tidak dapat diarahkan pada penyajian spiritual dan kontemplasi Hirarki Surgawi kecuali jika menggunakan panduan material yang sesuai dengannya, dengan memperhitungkan keindahan-keindahan yang dipandang sebagai gambaran keindahan yang tersembunyi, dupa yang wangi sebagai simbol dispensasi spiritual, dan cahaya duniawi [yaitu, lilin] figur pencerahan immaterial [yaitu, cahaya kemuliaan di surga yang disediakan oleh Tuhan sendiri]” (Dionysius Pseudo-Areopagite, The Celestial Hierarchy 3)

24. Novena dan Doa-doa Khusus


Pada zaman Kristus, orang-orang kafir mengucapkan serangkaian gelar ketika berbicara dengan dewa-dewa mereka. Mereka percaya bahwa jika mereka tidak menggunakan “title of the day” yang benar ketika memanggil dewa yang mereka doakan, dewa akan dengan marah menolak untuk mendengar doa mereka. Periode doa-doa khusus kaum pagan tidak lebih dari kemiripan yang sepintas lalu dengan novena Katolik. Mereka yang mengutuk novena sebagai “kafir (pagan)” harus ingat bahwa dengan menggunakan logika yang sama, seseorang dapat mengutuk puasa, nyanyian himne, pertemuan untuk ibadah pada hari tertentu dalam seminggu, dan bahkan berdoa sendiri, sebab orang-orang kafir juga melakukan semua hal itu.

25. Perayaan Natal yang Tetap


“Kata ‘Natal’ (Christmas dalam bahasa Inggris Kuno) adalah Cristes Maesse, Misa Kristus (the Mass of Christ), pertama kali ditemukan pada tahun 1038, dan Cristes-messe, pada tahun 1131. Dalam bahasa Belanda Kerst-misse, dalam bahasa Latin Dies Natalis, yang darinya datang kata Noël Prancis, dan Il natale dalam bahasa Italia; dalam bahasa Jerman Weihnachtsfest, dari malam (vigili) suci sebelumnya” (The Catholic Encyclopedia [New York, Robert Appleton Co., 1908], vol. 3, hlm. 724.
Inilah tepatnya yang dilakukan Gereja Katolik dari waktu ke waktu di Gereja mula-mula. Daripada hanya menyuruh umat beriman untuk tinggal di rumah pada hari-hari tertentu ketika orang-orang kafir merayakan dewa-dewa palsu mereka, Gereja secara bertahap mulai mengadakan perayaannya sendiri pada hari-hari itu sebagai cara untuk menjauhkan orang-orang Kristen dari paganisme dan untuk menarik orang-orang kafir dari ritual-ritual kesia-siaan mereka ke dalam terang dan kehidupan Yesus Kristus dan Gereja-Nya.

26. Latin : Bahasa Resmi Gereja Barat


Karena pengaruh bahasa Yunani terhadap bahasa Latin, lambat laun muncul dua bentuk bahasa Latin yang berbeda namun terkait erat: classical (bahasa Latin yang lebih canggih [rumit] dan elegan yang diucapkan) dan vulgar (bahasa Latin yang kurang canggih yang diucapkan oleh orang biasa). Gereja menjadi sadar bahwa akan lebih baik untuk menggunakan bentuk bahasa Latin yang melayani khalayak Kristen yang paling luas dan calon petobat, sehingga bahasa Latin vulgar menjadi bentuk yang diterima dari Gereja Latin (jugaecclesiastical Latin). Ketika Liturgi Romawi ditulis pada abad ketiga dan keempat, kita melihat munculnya bahasa Latin secara bertahap sebagai bahasa yang predominant. Beberapa kritikus Gereja (salah) berpendapat bahwa Gereja “memaksakan” bahasa Latin sebagai cara untuk membuat orang awam “tidak tahu” tentang Firman Tuhan. Tapi itu justru kebalikan dari mengapa demikian. Gereja ingin, seperti yang Gereja lakukan sekarang, untuk memastikan bahwa pesan Kristus dapat diakses oleh semua orang.

27. Asal Kata “Misa”


Frasa Latin di akhir Liturgi: “Ite, Missa est”, yang berarti: “Pergilah, [kita] diutus”. Pernyataan penutup oleh imam itu menyampaikan karakter misionaris dari para peserta Misa yang menggemakan firman Tuhan saat akan naik ke surga di Bukit Zaitun. “Karena itu pergilah [bahasa Latin: ite], jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah , Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:19-20).

28. Misa Hari Minggu Bukannya Sabat


Gereja Katolik mengadopsi tradisi merayakan Misa pada hari Minggu karena dua alasan utama. Pertama, untuk menghormati dan memperingati Kebangkitan Tuhan pada hari pertama minggu itu. Kedua, untuk menarik perbedaan antara ketaatan Perjanjian Lama tentang hari istirahat pada hari Sabat. Orang-orang Kristen mula-mula melihat manfaatnya, baik bagi diri mereka sendiri maupun orang-orang di luar Gereja, untuk menunjukkan bahwa Iman yang baru itu berbeda dari agama Yahudi dimana iman itu muncul. Dengan mengalihkan ketaatan terhadap Perintah Ketiga — “Kuduskanlah hari Sabat” (Kel 20:8) — dari hari perayaan Yahudi ke hari Minggu, hari ketika Tuhan bangkit dari kematian, Gereja Katolik awal menunjukkan pemutusan yang pasti dengan akar Yahudi-nya. Orang-orang Kristen mula-mula menyadari kebenaran ini dengan tajam dan ingin menghidupi kenyataan itu melalui pemeliharaan hari Minggu mereka sebagai hari istirahat yang Tuhan perintahkan dalam Keluaran 20.

29. Pengangkatan Hosti Saat Misa


Potensi kebingungan berasal dari kenyataan bahwa, sebelum modifikasi ini, imam yang menghadap ke altar dan jauh dari umat, memegang hosti suci di depannya, yang berarti umat di belakangnya tidak dapat melihat hosti itu selama konsekrasi. Uskup agung ingin memastikan bahwa umat beriman memuja menyembah Kristus dalam Ekaristi setelah konsekrasi terjadi, dan bukan sebelumnya. Tradisi mengangkat hosti (dan piala) pada konsekrasi dengan cepat menjadi populer dan menyebar dengan cepat ke Gereja Barat secara keseluruhan.

30. Tanda Salib


Tradisi Kristen kuno yang umum ini dengan sendirinya tidak bersifat doktrinal melainkan itu adalah gerakan suci sederhana yang secara radikal dijiwai dengan kebenaran doktrinal. Sungguh indah melihat doktrin-doktrin yang begitu dalam dan sentral dari Iman Katolik kita yang diringkas dalam suatu gerakan sederhana. Setiap kali kita mengamati tradisi membuat tanda salib ini, kita memberikan kesaksian darah-dan-daging tentang kebenaran dari apa yang dikatakan St. Paulus: “kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan”.

BAGIAN V : MASALAH-MASALAH MORAL

31. Kontrasepsi


Gereja Katolik selalu mengutuk pengendalian kelahiran buatan – kontrasepsi – sebagai dosa berat. Ketika Paus Paulus VI mengulangi ajaran Gereja tentang kontrasepsi, dia tidak mengatakan sesuatu yang baru. Sebaliknya, dia hanya menyatakan kembali apa yang selalu dipegang dan diajarkan oleh Gereja, bahkan sejak tahun-tahun awal Kekristenan. Berikut adalah beberapa contoh perwakilan dari para Bapa Gereja mula-mula dan sumber otoritatif lainnya yang berperan sebagai monumen-monumen dari Tradisi ini.

32. Aborsi


Gereja Katolik selalu mengutuk aborsi – pembunuhan yang disengaja terhadap anak yang belum lahir – sebagai dosa yang berat. Berikut adalah beberapa contoh perwakilan dari Bapa Gereja awal dan sumber otoritatif lainnya yang berperan sebagai monumen-monumen dari Tradisi ini.

33. Penomoran Sepuluh Perintah Allah


Jika seseorang hanya mengambil bagian-bagian Alkitab di luar konteks atau tanpa memperhatikan bagian-bagian terkait yang menjelaskan subjek tertentu, dia berisiko membelok dengan cepat ke dalam pemahaman Alkitab yang menyimpang dan salah. Tanpa mengenali dan merangkul Tradisi tidak tertulis yang membantu Gereja di setiap zaman memahami dengan benar pesan Injil yang turun kepada kita juga dalam Kitab Suci, dia akan menjadi seperti orang-orang malang yang diperingatkan oleh St. Petrus dalam 2 Ptr 3:15-16. Ada banyak contoh yang dapat diberikan tentang Tradisi dan tradisi Katolik yang tampaknya sama sekali tidak alkitabiah, bahkan anti-Alkitab, bagi Protestan, Mormon, dan non-Katolik lainnya hanya karena orang-orang itu memusatkan argumen mereka melawan Katolik pada satu atau dua ayat Alkitab, dan mereka mengecualikan atau melupakan ayat-ayat terkait yang akan menunjukkan bahwa argumen mereka tidak benar.

SEBUAH PEMIKIRAN TERAKHIR TENTANG TRADISI

Kebanyakan orang yang menolak Tradisi Katolik bukan menolaknya karena dengki atau ketidaktulusan, dan tentu saja bukan karena mereka bodoh atau lamban. Tidak. Hampir selalu, orang-orang ini begitu tulus, mereka mencintai Tuhan, dan mereka ingin mematuhi ajaran-Nya. Penolakan mereka terhadap Tradisi bukan berasal dari kebencian, tetapi karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendengar keseluruhan cerita tentang Tradisi dan melihat semua bukti Tradisi Katolik, serta adat dan disiplinnya. Kebenaran tentang Tradisi Suci sulit diterima oleh sebagian orang, ya, tetapi tetap saja itu adalah kebenaran. Menanggapi nasehat St. Paulus “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran [terjemahan Inggris: traditions] yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis”, setiap umat Katolik dapat dan harus mengatakan dengan keyakinan yang rendah hati, “Demi kasih karunia Tuhan, selama dua ribu tahun terakhir, kami telah berdiri teguh dan berpegang teguh pada ajaran-ajaran [Traditions] tertulis dan tidak tertulis yang diajarkan kepada kami, kami berpegang teguh sekarang, dan kami akan selalu berpegang teguh padanya”.


Leave a comment