6. Yunani, Lombardia, Franka

Membawa Keteraturan dari Kekacauan

Dalam benak Anda, bayangkan tiga adegan. Yang pertama terjadi di Roma sekitar lima puluh tahun setelah kematian Gregorius. Bayangkan sendiri seorang paus, sakit parah. Dia berada di katedral St. Yohanes Lateran, di mana dia berlindung sebagai tempat kudus untuk menyelamatkan diri dari para agen kaisar. Para agen menista tempat kudus itu, menangkap paus, menanggalkan jubah kepausannya, dan menyelundupkannya ke kapal menuju Konstantinopel. Begitu sampai di Konstantinopel, paus Martin I (paus Martinus I), diadili atas tuduhan pengkhianatan yang dibuat-buat. Dia dinyatakan bersalah, diseret dengan rantai di jalan-jalan, dicambuk di depan umum, dan dijatuhi hukuman mati, yang diubah menjadi penjara seumur hidup. Paus meninggal enam bulan kemudian karena kedinginan, kelaparan, dan perlakuan kasar.

38. Sepanjang sejarah Gereja, para paus lebih peduli dengan perolehan kekayaan dan kekuasaan politik

kepausan

Situs web Vatican Assassins berpendapat bahwa para paus percaya bahwa mereka memiliki hak untuk memerintah seluruh dunia.1 Meskipun menggelikan, itu tidak jauh dari tuduhan yang dibuat setidaknya sejauh zaman Ratu Elizabeth I dari Inggris (memerintah 1558–1603). Sekretaris negara dan kepala penasihat Elizabeth, William Cecil (1520-1598), misalnya, mengarang sebuah kampanye untuk meyakinkan warga Inggris bahwa paus adalah seorang pangeran asing yang merencanakan penaklukan pulau itu. Tetapi seperti yang diungkapkan oleh sebua survei sejarah kepausan, para paus lebih sering tunduk pada penguasa sekuler daripada tuan mereka.

14. Gereja menyerukan Perang Salib untuk membantai kaum Muslim

Perang Salib

Ada banyak mitos tentang Perang Salib, tetapi salah satu yang paling bertahan, terutama di media, adalah gagasan bahwa Perang Salib adalah perang-perang ofensif penaklukan dan penghancuran yang dilancarkan terhadap peradaban Muslim yang damai, toleran, dan cerah — menggambarkan kemunafikan sebuah Gereja yang didirikan oleh Pangeran Pembawa Damai yang terlibat dalam perang “suci”. Kepalsuan ini berasal dari tulisan-tulisan kaum revolusioner Protestan, terutama Martin Luther, yang memandang Perang Salib sebagai sarana yang digunakan Antikristus (sri paus) untuk menambah kekayaan Gereja. Para pemikir Pencerahan seperti Voltaire dan Edward Gibbon memandang Perang Salib sebagai usaha-usaha pemborosan dari Gereja yang haus kekuasaan yang melemahkan vitalitas dan sumber daya Eropa.[1] Dalam pandangan mereka, para Tentara Salib adalah penjahat-penjahat bodoh dan penuh takhayul yang dimanipulasi oleh paus.[2]