6. Yunani, Lombardia, Franka

Membawa Keteraturan dari Kekacauan

Dalam benak Anda, bayangkan tiga adegan. Yang pertama terjadi di Roma sekitar lima puluh tahun setelah kematian Gregorius. Bayangkan sendiri seorang paus, sakit parah. Dia berada di katedral St. Yohanes Lateran, di mana dia berlindung sebagai tempat kudus untuk menyelamatkan diri dari para agen kaisar. Para agen menista tempat kudus itu, menangkap paus, menanggalkan jubah kepausannya, dan menyelundupkannya ke kapal menuju Konstantinopel. Begitu sampai di Konstantinopel, paus Martin I (paus Martinus I), diadili atas tuduhan pengkhianatan yang dibuat-buat. Dia dinyatakan bersalah, diseret dengan rantai di jalan-jalan, dicambuk di depan umum, dan dijatuhi hukuman mati, yang diubah menjadi penjara seumur hidup. Paus meninggal enam bulan kemudian karena kedinginan, kelaparan, dan perlakuan kasar.

23. Gereja secara paksa mengebiri anak laki-laki untuk mempertahankan suara tinggi mereka untuk bernyanyi dalam paduan suara gereja

Renaisans dan Reformasi

“Paus Didesak untuk Meminta Maaf atas Pengebirian Vatikan,” teriak tajuk utama di [majalah] The Guardian pada musim panas 2001. Artikel tersebut merujuk pada sebuah buku baru karya Hubert Ortkemper berjudul Angels Against They Will, yang dimaksudkan untuk menceritakan kisah tentang bagaimana Gereja, selama berabad-abad , mendorong pengebirian anak laki-laki muda Italia untuk mencegah suara mereka berubah selama masa pubertas, sehingga mereka bisa menyanyikan nada tinggi yang tidak wajar dalam paduan suara gereja. Prosedur itu memberi mereka “laring seukuran anak-anak yang dikombinasikan dengan volume paru-paru pria dewasa [dan] menghasilkan suara dada yang kuat dan memancar melebihi suara wanita atau pria alami”.1 Mitos ini juga ditemukan di situs web anti-Kristen, Angels Against They Will dengan judul “Kebijakan Resmi Gereja” (Official Church Policy: Castrati).2