6.5. Kasus Honorius

Kepausan

Hal itu menyisakan kita dengan Honorius, yang sejauh ini merupakan contoh favorit di antara para kritikus yang mengatakan beberapa paus jelas-jelas mengajarkan kesalahan dan bertentangan dengan apa yang katanya karisma infalibilitas mereka. Menurut apologis Protestan Todd Baker, “Paus Honorius (625-638 M) dikutuk setelah kematiannya sebagai bidat karena kepercayaan monoteletisnya (doktrin bahwa Kristus hanya memiliki satu kehendak) oleh Konsili Konstantinopel Ketiga yang diadakan pada tahun 680 M”.1 Untuk menentukan apakah tuduhan ini akurat, kita harus memeriksa dua aspek dari kasus Paus Honorius — tulisan-tulisannya yang diduga sesat dan kecaman yang dia terima di Konsili Konstantinopel Ketiga.

Pada tahun 619 patriark Konstantinopel, Sergius I, mengembangkan Kristologi yang dia harapkan akan membawa para bidat Monofisit ke dalam persekutuan dengan Gereja. Dia tidak secara eksplisit menolak keputusan Kalsedon bahwa Kristus memiliki dua kodrat (yang ditolak oleh kaum Monofisit). Dia, bagaimanapun, mengajukan teori bahwa Kristus memiliki satu kehendak untuk membantu Monofisit melihat bahwa Gereja tidak menganut kesalahan yang berlawanan dari Nestorianisme. Bagaimanapun, dia pasti berpikir, “Jika Kristus hanya memiliki satu kehendak, maka Dia tidak dapat menjadi dua pribadi”. Tetapi jika Kristus tidak memiliki kehendak ilahi atau kehendak manusia, maka Ia tidak dapat sepenuhnya memiliki kodrat manusia dan kodrat ilahi. Akibatnya, kedua belah pihak menolak kompromi Sergius, sehingga sang patriark menulis kepada Paus Honorius untuk merangkum pendapatnya tentang masalah tersebut.

Dalam suratnya kepada Honorius, Sergius menanyai paus tentang penggunaan bahasa yang menggambarkan Kristus memiliki “satu tindakan” (one operation) atau “dua tindakan” (two operations) dan menyarankan agar Gereja menahan diri untuk tidak menggunakan kedua istilah tersebut sampai Monofisit dapat dibawa kembali ke kandang. Dalam jawabannya kepada Sergius, Honorius setuju bahwa kedua ungkapan itu harus dihindari tetapi kemudian berkata pada satu titik, “Kami mengakui satu kehendak Tuhan kami Yesus Kristus, karena ternyata itu adalah sifat kami dan bukan dosa di dalamnya yang ditanggung oleh Tuhan, yaitu, natur yang diciptakan sebelum dosa, bukan natur yang dirusak oleh dosa”.2 Sementara Sergius dan para Monoteletis lainnya menangkap pernyataan ini sebagai dukungan terhadap Monoteletisme, itu belum tentu apa yang ingin disampaikan oleh Paus.

Perhatikan bahwa Kristus dikatakan memiliki “satu kehendak” karena Ia tidak berdosa. Karena kodrat manusia yang bebas dari dosa selalu menaati Allah menurut kehendak-Nya, maka dapat dikatakan bahwa Kristus memiliki “satu kehendak” dalam arti tidak pernah bertentangan dengan kehendak Bapa. Ini akan sama dengan mengatakan bahwa dua orang yang berbeda adalah “satu pikiran” meskipun mereka memiliki dua pikiran yang berbeda yang berada dalam kesepakatan yang harmonis. Sejarawan non-Katolik Jaroslav Pelikan mengatakan bahwa penentangan Honorius terhadap gagasan bahwa Kristus memiliki dua kehendak “didasarkan pada interpretasi ‘dua kehendak’ sebagai ‘dua kehendak yang bertentangan’. Dia tidak bermaksud bahwa Kristus adalah manusia yang tidak lengkap”.3 Laurent Cleenewerck, seorang imam Ortodoks Timur, memberikan penilaian ini:

Saya tidak berpikir bahwa Honorius adalah seorang monoteletis ontologis. Suratnya sangat mengingatkan pada bahasa St. Gregorius dari Nazianzus “sang Teolog”, meskipun sangat tidak bijaksana dan lengah dalam konteks abad ketujuh. Pada tahun 641, Paus Yohanes IV berusaha menjelaskan ajaran Honorius dengan menekankan bahwa “ketika ia mengakui satu kehendak dari Tuhan kita, itu hanya berarti menyangkal bahwa Kristus memiliki kehendak daging, concupiscence, karena ia dikandung dan dilahirkan tanpa noda dosa.”4

Bahkan jika Honorius mendukung Monoteletisme dalam surat kepada Sergius ini, itu tidak berarti dia bertentangan dengan karisma infalibilitas. Infalibilitas kepausan melindungi paus hanya ketika dia bermaksud untuk mendefinisikan dogma dan memungkinkan seorang paus untuk mengekspresikan pandangan-pandangan teologis yang salah. Pada abad keempat belas Paus Yohanes XXII mengajarkan dalam serangkaian khotbah pandangan yang salah bahwa orang mati tidak mencapai Beatific Vision sampai Penghakiman Terakhir (mirip dengan ajaran palsu tentang jiwa yang tertidur). Paus akhirnya menarik kembali pandangannya sesaat sebelum kematiannya, tetapi kasusnya tidak dianggap sebagai bukti melawan infalibilitas kepausan (bahkan oleh sebagian besar kritikus infalibilitas kepausan) karena paus berbicara sebagai “teolog pribadi” dan tidak mendefinisikan doktrin yang mengikat atas seluruh Gereja.

Untuk mengantisipasi jawaban seperti ini, Baker mengatakan bahwa beberapa apologis Katolik “mengklaim bahwa Honorius tidak mengajar dalam kapasitas resminya sebagai Paus yang berbicara ex cathedra dari kursi St. Petrus”. Dia kemudian mengutip desakan Webster bahwa dekrit konsili ekumenis keenam “mengutuk Honorius sebagai bidat dalam kapasitas resminya sebagai paus, bukan sebagai individu pribadi”.5 Tetapi adalah sebuah dikotomi yang salah untuk mengatakan bahwa paus berbicara secara ex cathedra atau berbicara hanya sekedar sebagai individu pribadi atau teolog. Paus biasanya berbicara dalam kapasitas resminya sebagai paus tanpa membuat pernyataan ex cathedra, dan beberapa di antaranya bisa salah (seperti khotbah-khotbah umum Yohanes XXII yang keliru). Pertanyaan di hadapan kita adalah, apakah Honorius bermaksud untuk mendefinisikan Monoteletisme sebagai kepercayaan yang mengikat bagi Gereja universal? Menurut Dom John Chapman, jawabannya adalah tidak.

Honorius berbicara kepada Sergius saja, dan sama sekali tidak terbukti bahwa dia bermaksud agar suratnya diterbitkan sebagai sebuah dekrit. Lebih lanjut, dia tidak memohon, seperti yang biasa dihimbau oleh para paus pada acara-acara resmi, kepada otoritas apostoliknya, kepada janji kepada Petrus, kepada tradisi Gerejanya. Terakhir, ia tidak mendefinisikan atau mengutuk, tidak menganathema atau memperingatkan, tetapi hanya mempertegas sebuah kebijakan untuk [ber]diam [diri].6

Hal itu menyisakan kita dengan pertanyaan tentang penghukuman Honorius di Konsili Konstantinopel Ketiga (680-681). Dalam sesi keenam belas konsili menyatakan, “Untuk Honorius, sang bidat, anathema!” dan dalam definisi imannya dikatakan bahwa iblis menemukan dalam Honorius sebuah “alat yang cocok” untuk digunakan dalam “menimbulkan bagi seluruh Gereja batu sandungan dari satu kehendak dan satu tindakan”.7 Dalam sesi ketiga belas konsili tersebut mengatakan, “Kami menetapkan bahwa akan ada pengusiran dari Gereja Suci Allah dan menganathema Honorius yang beberapa waktu menjadi Paus Roma Lama, karena apa yang kami temukan ditulis olehnya kepada Sergius, bahwa dalam segala hal dia mengikuti pandangannya dan meneguhkan doktrin-doktrinnya yang tak beriman”.8

Konsili tidak mendefinisikan bahwa Honorius keliru dengan mengikat umat beriman untuk percaya Monoteletisme. Konsili memang mengutuknya karena mengikuti pandangan Sergius dan menyebabkan ajaran sesat ini menyebar ke seluruh Gereja. Paus Leo II membenarkan dekrit konsili tetapi menambahkan rincian bahwa Honorius dikutuk karena dia “tidak mengiluminasi tahta apostolik ini dengan doktrin tradisi kerasulan, tetapi mengizinkan dia yang tidak tercemar menjadi tercemar oleh ajaran profan”.9 Dalam sepucuk surat kepada para uskup Spanyol ia mengatakan bahwa Honorius “tidak memadamkan api doktrin sesat dalam kebangkitannya, karena itu menjadi otoritas apostolik, tetapi mengobarkannya dengan kelalaian”.10

Dengan kata lain, Paus Leo II menegaskan dekrit konsili yang berarti Honorius pantas dikutuk karena ia gagal mengoreksi bidat dan membantu menyebarkannya melalui suratnya yang ambigu kepada Sergius. Tetapi gagal untuk memimpin Gereja sebagaimana mestinya tidak sama dengan mengajarkan sesuatu yang salah secara mutlak. Itu hanya membuktikan bahwa, seperti St. Petrus pendahulunya, Tuhan menggunakan orang-orang yang bercampur sifat baik maupun buruknya untuk melayani Gereja sebagai paus. Namun, Tuhan berjanji untuk menguatkan orang-orang ini, seperti Dia menguatkan Petrus, dan terlepas dari kelemahan mereka, Dia akan menggunakan kuasa ilahi dan kasih karunia-Nya yang tak terbatas untuk memastikan bahwa baik mereka maupun orang lain tidak akan menyebabkan gerbang hades menang melawan Gereja.


1  “Pope Honorius (625—638 A.D.) was condemned after his death as a heretic for his monothelite belief (the doctrine that Christ had only one will) by the Third Council of Constantinople held in 680 A.D”, Todd Baker, Exodus from Rome: A Biblical and Historical Critique of Roman Catholicism, vol. 1 (Bloomington, IN: iUniverse, 2014), kindle edition.

2  “We acknowledge one will of our Lord Jesus Christ, for evidently it was our nature and not the sin in it which was assumed by the Godhead, that is to say, the nature which was created before sin, not the nature which was vitiated by sin”

3  “was based on the interpretation of ‘two wills’ as ‘two contrary wills.’ He did not mean that Christ was an incomplete human being”, Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, vol. 2, The Spirit of Eastern Christendom (600—1700) (Chicago: University of Chicago Press, 1977),

4  I do not think that Honorius was an ontological monothelite. His letter is very reminiscent of the language of St. Gregory of Nazianzen ‘the Theologian,’ although very unwise and unguarded in the context of the seventh century. In 641, Pope John IV attempted to explain Honorius’ teaching by stressing that ‘when he confessed one will of our Lord, only meant to deny that Christ had a will of the flesh, of concupiscence, since he was conceived and born without stain of sin’ ”, Laurent Cleenewerck, His Broken Body: Understanding and Healing the Schism between the Roman Catholic and Eastern Orthodox Churches (Washington, DC: Euclid University Consortium Press, 2008), 195.

5  “condemn Honorius as a heretic in his official capacity as pope, not as a private individual”, Baker, Exodus from Rome, kindle edition.

6  “Honorius addressed Sergius alone, and it is by no means evident that he intended his letter to be published as a decree. Further, he does not appeal, as popes habitually appealed on solemn occasions, to his apostolic authority, to the promise to Peter, to the tradition of his Church. Lastly, he neither defines nor condemns, utters no anathema or warning, but merely approves a policy of silence”, Dom John Chapman, The Condemnation of Pope Honorius (London: Catholic Truth Society, 1907), 16.

7  “raising up for the whole Church the stumbling-blocks of one will and one operation”

8  “We define that there shall be expelled from the holy Church of God and anathematized Honorius who was some time Pope of Old Rome, because of what we found written by him to Sergius, that in all respects he followed his view and confirmed his impious doctrines”, Darwell Stone, The Christian Church (New York: Edwin S. Gorham, 1906), 375.

9  “did not illuminate this apostolic see with the doctrine of apostolic tradition, but permitted her who was undefiled to be polluted by profane teaching”, Salmon, Infallibility of the Church, 428.

10  “did not extinguish the flame of the heretical doctrine in its rise, as it became the apostolical authority, but fomented it by negligence”, Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, vol. 2, The Spirit of Eastern Christendom (600—1700) (Chicago: University of Chicago Press, 1977), 151.


Baca juga : Infalibilitas Kepausan, BAB I. Gereja dan Kepausan, infallibility dan impeccability (par.3), BAGIAN VII – KEPAUSAN, Apa Otoritasmu?, Suksesi Apostolik, Keutamaan Petrus dan Pengganti-penggantinya, Paus Honorius (Kasus Favorit” mereka – par.2), Nestorianisme (Salam Maria – par.7), monothelitis (cat. no.7), Monothelitisme (par.4), Monothelitisme (Vatikan II Tentang Perkembangan Doktrin – par.5), Keilahian Kristus.

Leave a comment