3.4. Bukti Kristen (50 — 100 M)

Kanon Perjanjian Lama

Contoh paling jelas dari perbedaan pemikiran di antara orang-orang Yahudi abad pertama tentang kanon adalah bahwa orang Saduki hanya menganggap Pentateukh sebagai yang berwibawa. Misalnya, orang Saduki menyangkal adanya kebangkitan di masa depan (Mrk 12:18; Kis 23:8) meskipun para nabi secara eksplisit berbicara tentang kebangkitan orang mati (Dan 12:2).1 Lee Martin McDonald berkata tentang orang Saduki, “Mengingat apa yang kita baca tentang mereka dalam Perjanjian Baru dan para bapa Gereja awal, ini membawa kita untuk menyimpulkan bahwa Kitab Suci mereka berbeda dari yang diadopsi oleh orang Farisi atau Eseni”.2

Para ahli sepakat bahwa Perjanjian Baru terutama mengutip dari Septuaginta, dan Septuaginta abad pertama memuat kitab-kitab deutero-kanonik. Timothy Michael Law, yang menjabat sebagai co-editor Oxford Handbook on the Septuagint, mengatakan bahwa kitab-kitab ini ”termasuk dalam Septuaginta” dan bahwa ”juga keliru jika membayangkan bahwa kitab-kitab itu tidak pernah dibaca sebagai kitab suci yang ilahi”.3

Menanggapi bukti ini Ron Rhodes mengklaim bahwa tidak ada manuskrip Septuaginta sebelum abad keempat setelah Kristus yang memuat kitab-kitab deuterokanonika. Tetapi semua manuskrip sebelum saat ini terpisah-pisah, sehingga mereka juga kekurangan banyak kitab protokanon. Rhodes bahkan tampaknya menyadari hal ini dan berkata, “Jika sebuah manuskrip abad pertama ditemukan dengan Apokrifa dalam Septuaginta, itu tetap tidak berarti Apokrifa termasuk dalam kanon”. Rhodes membuat klaim ini berdasarkan fakta bahwa “tidak ada satu pun kutipan dari Apokrifa dalam tulisan-tulisan [para rasul]”.4 McCarthy juga mengklaim, “Meskipun Perjanjian Baru mengutip hampir setiap kitab Perjanjian Lama, tidak ada satu pun kutipan dari Apokrifa”.5

Pertama, akan aneh jika Yesus dan para rasul mengutip dari terjemahan Kitab Suci yang berisi tujuh tulisan yang tidak diilhami. Karena mereka tidak pernah memperingatkan pendengar mereka untuk menghindari tulisan-tulisan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka menganggap Septuaginta sebagai Kitab Suci.6 Kedua, seperti yang diamati Metzger, “tidak ada kutipan langsung dalam Perjanjian Baru dari kitab-kitab kanonik Yosua, Hakim-hakim, Tawarikh, Ezra, Nehemia, Ester, Pengkhotbah, Kidung Agung, Obaja, Zefanya, dan Nahum; dan singgungan Perjanjian Baru untuk mereka sedikit jumlahnya”.7

Ketiga, ada singgungan-singgungan yang signifikan dalam Perjanjian Baru terhadap kitab-kitab deuterokanonika. Menurut cendekiawan Metodis David A. deSilva, “Para penulis Perjanjian Baru menenun frasa dan menciptakan kembali baris-baris argumen dari kitab-kitab Apokrifa ke dalam teks-teks baru mereka. Mereka juga menyinggung peristiwa dan cerita yang terkandung dalam teks-teks ini. Kata ‘parafrase’ sangat sering memberikan deskripsi yang memadai tentang hubungan tersebut”.8

Ketika para apologis Protestan menentang singgungan Perjanjian Baru pada deuterokanonika, mereka sering menunjukkan bahwa karya-karya non-Alkitab lainnya, seperti kitab Henokh atau penyair Yunani Menander juga disinggung atau bahkan dikutip langsung dalam Perjanjian Baru (misalnya, Yud 14; 1 Kor 15:33). Sekadar menyinggung kitab-kitab deuterokanonika, kata mereka, tidak cukup untuk membuktikan bahwa para penulis Perjanjian Baru menganggap kitab-kitab ini diilhami.

Tentu saja, ini membuat persyaratan agar kitab-kitab deuterokanonika dikutip dalam Perjanjian Baru menjadi kasus klasik “heads I win, tails you lose” [tidak peduli apa pun hasilnya, saya tetap diuntungkan…red]. Tidak adanya kutipan deuterokanonika membuktikan bahwa para rasul tidak menganggap mereka diilhami, tetapi bahkan jika mereka ada, kutipan semacam itu tidak akan membuktikan apa-apa karena para rasul juga mengutip karya-karya lain yang tidak diilhami. Bagaimanapun juga, yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa, para penulis Perjanjian Baru menyinggung kitab-kitab deuterokanonika untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam sejarah keselamatan atau untuk menegaskan nubuat ilahi, yang tidak mereka lakukan dengan kutipan-kutipan mereka dari literatur pagan.

Dalam Matius 27:43 para imam kepala berkata tentang Yesus yang disalibkan, “Ia menaruh harapan-Nya pada Allah: baiklah Allah menyelamatkan Dia, jikalau Allah berkenan kepada-Nya! Karena Ia telah berkata: ‘Aku adalah Anak Allah’ ”. Bagian ini paralel dengan Mzm 22:8 (“Ia menyerah kepada TUHAN; biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?”), tetapi ayat itu tidak menyebutkan Anak Allah. Namun, King James Bible 1611 merujuk-silang bagian ini dengan Kebijaksanaan [Salomo] 2:18: “Jika orang yang benar itu sungguh anak Allah, niscaya Ia akan menolong dia serta melepaskannya dari tangan para lawannya”.

Ibrani 11:35 menggambarkan sekelompok orang pada periode Perjanjian Lama yang “disiksa dan tidak mau menerima pembebasan, supaya mereka beroleh kebangkitan yang lebih baik”. Satu-satunya catatan tentang ini ditemukan dalam 2 Makabe 7, yang menggambarkan kakak beradik yang menerima siksaan di tangan Seleukia daripada makan daging babi dan melanggar hukum Yahudi. Karena konteks Ibrani 11 mencakup “orang-orang zaman dahulu [yang] menerima persetujuan ilahi” (ay. 2; terjemahan Indonesia “Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita”), maka kitab-kitab yang menggambarkan para martir Makabe adalah bagian dari Perjanjian Lama yang digunakan oleh penulis Surat untuk orang Ibrani.9

Para apologis Protestan lainnya mengklaim bahwa karena “orang Yahudi [dipercayakan] dengan firman Allah”, seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 3:2, ini berarti orang Kristen harus meniru orang Yahudi modern dan menolak kitab-kitab deuterokanonika dari Kitab Suci.10 Geisler dan MacKenzie mengklaim, “Karena Perjanjian Baru secara eksplisit menyatakan bahwa Israel dipercayakan dengan nubuat-nubuat Allah dan merupakan penerima perjanjian dan Hukum (Rm. 3:2), orang-orang Yahudi harus dianggap sebagai penjaga batas-batas kanon mereka sendiri. Dan mereka selalu menolak Apokrifa”.11 Tetapi bahkan hari ini, tidak semua orang Yahudi sependapat dengan kanon Kitab Suci karena orang-orang Yahudi Etiopia menerima kitab-kitab deuterokanonika.12 Situasinya bahkan lebih beragam pada abad pertama, ketika berbagai kelompok Yahudi—Saduki, Farisi, Eseni, dan lain-lain—menerima kitab-kitab yang berbeda sebagai kitab yang suci dan kanonik.

Satu-satunya kelompok yang bertahan dan makmur setelah perang Yahudi-Romawi adalah orang-orang Farisi, dan mereka menjadi berpengaruh dalam rabinik Yudaisme modern, sementara aliran pemikiran lain berlalu dari tempat itu. Tetapi bahkan para rabi terus memperdebatkan batas-batas yang tepat dari kanon mereka selama berabad-abad sesudahnya. Akibatnya, tidak masuk akal untuk melihat satu aliran pemikiran Yahudi yang masih hidup, betapapun berpengaruhnya, dan memperlakukannya seolah-olah itu mewakili pendapat semua orang Yahudi di abad pertama atau menjadikannya normatif bagi orang Kristen.

Selanjutnya, Roma 3:2 tidak mengatakan apa-apa tentang otoritas orang-orang Yahudi untuk menentukan kanon Kitab Suci. Paulus hanya mengatakan bahwa meskipun orang Yahudi dan bukan Yahudi sama-sama bersalah karena melakukan dosa besar, orang Yahudi memiliki keunggulan dibandingkan orang bukan Yahudi karena Allah memberi mereka wahyu ilahi. Seperti yang ditunjukkan oleh N. T. Wright dan A. T. Robertson, penggunaan frasa yang khas “nubuat Allah” (the oracles of God) oleh Paulus dapat berarti bahwa Paulus tidak berbicara tentang Kitab Suci itu sendiri tetapi tentang konsep umum wahyu ilahi.13

Bagaimanapun, jika bagian ini berarti orang-orang Yahudi dipercayakan untuk menentukan status kanonik dari semua wahyu ilahi yang tertulis, maka Perjanjian Baru tidak akan menjadi kanonik, karena mayoritas orang Yahudi menolaknya.14 Bahkan, jika kepercayaan orang Yahudi non-Kristen adalah normatif bagi orang Kristen, maka kita harus mengecualikan seluruh Perjanjian Baru dari kanon. Umat Kristen mula-mula, yang menulis dan menerima Perjanjian Baru, tidak memandang kanon pada zaman mereka sebagai sesuatu yang tertutup, dan dari sudut pandang Kristen, keputusan orang-orang Yahudi non-Kristen di kemudian hari tidak dapat menentukan kanon alkitabiah.


1  Roger Beckwith membantah argumen ini dengan mengatakan, “Bisa juga dikatakan bahwa karena orang Saduki menolak kepercayaan pada malaikat-malaikat (yang muncul dalam Kej 19:1,15; 28:12; 32:1 dll.) Pentateukh juga tidak mungkin ada dalam kanon mereka”, Roger Beckwith, The Old Testament Canon of the New Testament Church: And Its Background in Early Judaism (Eugene, OR: Wipf and Stock, 1985), 87-88. Namun, mungkin saja orang Saduki hanya menyangkal bahwa wahyu ilahi datang melalui roh atau malaikat, bukan keberadaan makhluk itu sendiri. Mengutip penelitian sebelumnya tentang Saduki dan malaikat oleh Bernard Bamberger dan Solomon Zeitlin, Kristian Bendoraitis menulis, “Bamberger mengutip bukti rabinik yang berlawanan dangan kultus malaikat, bukan malaikat itu sendiri. Menurut Zeitlin, fungsi seorang malaikat telah berhenti pada datangnya ramalan. Dengan cara ini, orang Saduki akan mengabaikan apa yang dikatakan Paulus karena hal itu diwahyukan kepadanya oleh roh atau malaikat (Kis 23:9)”. Mungkin ini juga mengacu pada keadaan keberadaan yang ada sebelum kebangkitan bagi manusia, seperti menjadi roh tanpa tubuh, dan bukan penyangkalan terhadap para malaikat itu sendiri. Kristian Bendoraitis, “Behold, the Angels Came and Served Him”: A Compositional Analysis of Angels in Matthew (London: Bloomsbury T&T Clark, 2015), 149.

2  “Given what we read about them in the New Testament and the early Church fathers, this leads us to conclude that their Scriptures were different from those adopted by the Pharisees or the Essenes”, Lee Martin McDonald, The Biblical Canon: Its Origin, Transmission, and Authority (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2007), 142.

3  “were included in the Septuagint” . . . “it would also be mistaken to imagine that they have never been read as divine scripture”, Timothy Michael Law, When God Spoke Greek (New York: Oxford University Press, 2013), 59-60.

4  “If a first-century manuscript were found with the Apocrypha in the Septuagint, that still does not mean the Apocrypha belong in the canon”. . . ”there is not a single quote from the Apocrypha in [the apostles’] writings”, Ron Rhodes, Reasoning from the Scriptures with Catholics (Eugene, OR: Harvest House, 2000), 39.

5  “Though the New Testament quotes virtually every book of the Old Testament, there is not a single quotation from the Apocrypha”, McCarthy, Gospel according to Rome, 338.

6  Beberapa apologis juga mengklaim rujukan Yesus untuk “darah Habel” dan “darah Zakharia” (Luk 11:51) sedang menggambarkan seorang nabi dari kitab pertama Alkitab (Kejadian) dan kitab terakhir (2 Tawarikh) dari apa yang sekarang menjadi kanon Ibrani saat ini. Tetapi asumsi yang dibutuhkan argumen ini, seperti identitas Zakharia yang disebutkan atau posisi 2 Tawarikh di antara gulungan Perjanjian Lama pada zaman Yesus, terlalu lemah untuk memungkinkan kesimpulan apa pun untuk diambil dari sebuah rujukan yang dibuat Yesus yang bukan kanon Kitab Suci tetapi kemunafikan orang-orang Farisi.

7  “nowhere in the New Testament is there a direct quotation from the canonical books of Joshua, Judges, Chronicles, Ezra, Nehemiah, Esther, Ecclesiastes, the Song of Solomon, Obadiah, Zephaniah, and Nahum; and the New Testament allusions to them are few in number”, Metzger, Introduction to the Apocrypha, 171.

8  “New Testament authors weave phrases and recreate lines of arguments from Apocryha books into their new texts. They also allude to events and stories contained in these texts. The word ‘paraphrase’ very frequently provides adequate description of the relationship”, David A. deSilva, Introducing the Apocrypha: Message, Context, and Significance (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2004), 22.

9  Michuta, Case for the Deuterocanon, 13.

10  Turretin, Doctrine of Scripture 9.3. lih. juga White, Scripture Alone, 113.

11  “Since the New Testament explicitly states that Israel was entrusted with the oracles of God and was the recipient of the covenants and the Law (Rom. 3:2), the Jews should be considered the custodians of the limits of their own canon. And they have always rejected the Apocrypha”, Geisler and MacKenzie, Roman Catholics and Evangelicals, 169.

12  Adele Berlin and Maxine Grossman, eds., The Oxford Dictionary of the Jewish Religion (New York: Oxford University Press, 2011), 125.

13  N. T. Wright berkata bahwa Paulus menggunakan kata ini untuk merujuk pada tugas Israel untuk membagikan hukum kepada orang-orang bukan Yahudi. Dia menulis, “Tidak ada tempat lain dalam tulisan-tulisan Kristen awal adalah kitab suci Israel yang ditetapkan sebagai ‘nubuat-nubuat para Dewa’. . . Israel ‘dipercayakan dengan [apa yang mungkin dianggap oleh bangsa-bangsa bukan Yahudi sebagai] nubuat ilahi’ ”, N. T. Wright, Pauline Perspectives: Essays on Paul (Minneapolis: Fortress Press, 2013), 491. A. T. Robertson mengatakan ini mungkin hanya merujuk pada “perintah-perintah dan janji-janji Tuhan”, A. T. Robertson, Word Pictures in the New Testament: The Epistles of Paul, vol. 4 (Nashville, TN: Broadman, 1931), 33.

14  Diskusi Yudaisme abad kedua dan kanon Perjanjian Lama biasanya memunculkan apa yang disebut Konsili Yahudi Jamnia (atau Yavne) yang menutup kanon Perjanjian Lama pada tahun 90 M. Para sarjana modern, sementara mempertimbangkan kemungkinan diskusi dimana kanon terjadi di Jamnia, telah meninggalkan teori bahwa konsili ini secara otoritatif menutup kanon Alkitab Ibrani. Untuk sebuah review yang baik, lih. Jack P. Lewis, “Jamnia Revisited”, dalam The Canon Debate, ed. Lee M. McDonald and James A. Sanders (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2002).


Baca juga : par.4 (Menander), Seleukia, Konsili Jamnia (Kontinuitas dan Persekutuan, par.11), DARI MANA KITA MEMPEROLEH ALKITAB – Hutang Kita Kepada Gereja Katolik, Kanon Kitab Suci, Gereja Mendahului Perjanjian Baru, Gereja Mengompilasi Perjanjian Baru, BAB II. Kitab Suci dan Tradisi, par.2 Apokrifa, par.3 Apokrifa, par.4 apocryphal,

Leave a comment