5. Kitab Suci dan Tradisi

Kitab Suci dan Tradisi
  • Apa perbedaan antara pandangan Katolik dan Protestan tentang Kitab Suci dan otoritasnya? Argumen apa yang mendukung masing-masing pandangan?
  • Apa yang diajarkan Alkitab tentang otoritasnya? Apa yang dimaksud Gereja Katolik dengan Tradisi?
  • Mengapa para Fundamentalis memperdebatkan pemahaman tentang Tradisi ini?

Protestan mengklaim bahwa Alkitab adalah satu-satunya aturan iman, yang berarti bahwa Alkitab berisi semua materi yang dibutuhkan untuk teologi dan bahwa materi ini cukup jelas sehingga seseorang tidak membutuhkan Tradisi apostolik atau magisterium Gereja (otoritas mengajar) untuk membantu seseorang memahaminya. Dalam pandangan Protestan, seluruh kebenaran Kristen ditemukan di dalam halaman-halaman Alkitab. Segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Alkitab sama sekali tidak berwibawa, tidak perlu, atau salah — dan mungkin menghalangi seseorang untuk datang kepada Tuhan.

Umat Katolik, sebaliknya, mengakui bahwa pandangan ini tidak didukung dalam Alkitab; nyatanya, justru hal itu ditolak dalam Kitab Suci. “Aturan iman” yang benar – sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab sendiri – adalah Kitab Suci ditambah Tradisi apostolik, sebagaimana terwujud dalam otoritas pengajaran yang hidup dari Gereja Katolik, yang kepadanya dipercayakan ajaran lisan dari Yesus dan para rasul, bersama dengan otoritas untuk menafsirkan Kitab Suci dengan benar.

Dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang wahyu ilahi, Dei Verbum (Latin: “Wahyu Ilahi”), hubungan Tradisi dan Kitab Suci dijelaskan sebagai berikut: Jadi Tradisi suci dan Kitab suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. . Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui kitab suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun Kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama [1] (DV 9).[2]

Tetapi para Protestan Injili dan Fundamentalis, yang menaruh kepercayaan mereka pada teori sola scriptura (Latin: “Hanya Kitab Suci”) oleh Martin Luther, biasanya akan memperdebatkan posisi mereka dengan mengutip beberapa ayat kunci. Yang pertama adalah ini: “tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20:31). Ayat lainnya adalah: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Tim. 3:16–17). Menurut para Protestan ini, ayat-ayat ini menunjukkan realitas sola scriptura (teori “hanya Alkitab”).

Tidak demikian, jawab umat Katolik. Pertama, ayat dari Yohanes mengacu pada hal-hal yang tertulis di dalam kitab itu. (Bacalah dengan Yoh 20:30, ayat itu persis sebelum ay.31 untuk melihat konteks dari pernyataan tersebut). Jika ayat ini membuktikan sesuatu, bukan untuk membuktikan teori sola scriptura tetapi bahwa Injil Yohanes sudah cukup.

Kedua, ayat dari Injil Yohanes hanya memberi tahu kita bahwa Alkitab disusun supaya kita dapat terbantu untuk percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Ia tidak mengatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya yang kita butuhkan untuk keselamatan, apalagi Alkitab adalah segalanya yang kita butuhkan untuk teologi; bahkan juga tidak mengatakan bahwa Alkitab saja yang dibutuhkan untuk percaya kepada Kristus. Lagi pula, orang-orang Kristen awal tidak memiliki Perjanjian Baru untuk naik banding; mereka belajar dari pengajaran lisan, bukan tertulis. Sampai pada waktu yang relatif baru, Alkitab tidak dapat diakses oleh kebanyakan orang, baik karena mereka tidak dapat membaca atau karena mesin cetak belum ditemukan. Semua orang ini belajar dari pengajaran lisan, diwariskan, dari generasi ke generasi, oleh Gereja.

Hal yang sama dapat dikatakan tentang 2 Tim 3:16–17. Mengatakan bahwa semua tulisan yang diilhami itu “bermanfaat” adalah sesuatu hal; [tapi] mengatakan bahwa hanya tulisan terilham yang perlu diikuti adalah sesuatu hal yang lain lagi. Lagipula, ada sebuah argumen yang menentang klaim Protestan Injili dan Fundamentalis. John Henry Newman menjelaskannya dalam esai tahun 1884 berjudul “Inspiration in its Relation to Revelation”.


Argumen Newman

Dia menulis: “Sangat jelas bahwa perikop ini tidak memberikan argumen apa pun bahwa Kitab Suci, tanpa Tradisi, adalah satu-satunya aturan iman; karena, meskipun Kitab Suci bermanfaat untuk keempat tujuan ini, tetap saja itu tidak dikatakan cukup. Rasul [Paulus] membutuhkan bantuan Tradisi (lih. 2 Tes 2:15). Selain itu, sang Rasul di sini merujuk pada tulisan-tulisan suci yang diajarkan kepada Timotius sejak dia masih bayi. Sekarang, sebagian besar Perjanjian Baru tidak ditulis pada masa kanak-kanaknya: Beberapa surat Katolik tidak ditulis bahkan ketika Paulus menulis ini, dan belum ada kitab Perjanjian Baru yang ditempatkan dalam kanon kitab-kitab Kitab Suci . Dia merujuk kemudian, pada kitab suci Perjanjian Lama, dan, jika argumen dari bagian ini membuktikan sesuatu, maka itu justru akan membuktikan terlalu jauh, yaitu, bahwa kitab suci Perjanjian Baru tidak diperlukan untuk aturan iman”.

Selain itu, kaum Protestan biasanya membaca 2 Tim 3:16-17 di luar konteks. Ketika membaca dalam konteks perikop-perikop di sekitarnya, orang akan menemukan bahwa rujukan Paulus pada Kitab Suci hanyalah sebagian dari nasihatnya yang diambil oleh Timotius sebagai panduan Tradisi dan Kitab Suci-nya. Dua ayat sebelemunya mengatakan: “Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2 Tim. 3:14–15).

Paulus memberi tahu Timotius untuk melanjutkan apa yang telah dia pelajari karena dua alasan: pertama, karena dia tahu dari siapa dia telah mempelajarinya — Paulus sendiri — dan kedua, karena dia telah dididik dalam Kitab Suci. Yang pertama adalah seruan langsung kepada Tradisi apostolik, ajaran lisan yang diberikan rasul Paulus kepada Timotius. Jadi, kaum Protestan harus mengambil 2 Tim 3:16–17 keluar konteksnya untuk sampai pada teori sola scriptura. Tetapi ketika bagian itu dibaca dalam konteksnya, menjadi jelas bahwa itu justru mengajarkan pentingnya Tradisi apostolik!

Alkitab sendiri menyangkal bahwa itu sudah cukup sebagai aturan iman yang lengkap. Paulus mengatakan bahwa banyak ajaran Kristen dapat ditemukan dalam Tradisi, yang diteruskan dari mulut ke mulut (lih. 2 Tim 2:2). Dia menginstruksikan kita untuk “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis” (2 Tes. 2:15).[3]

Ajaran lisan ini diterima oleh umat Kristen, sama seperti mereka menerima ajaran tertulis yang datang kepada mereka kemudian. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku” (Luk 10:16). Gereja, dalam pribadi–pribadi para rasul, diberi wewenang untuk mengajar oleh Kristus; Gereja akan menjadi perwakilan-Nya. Dia menugaskan mereka, dengan berkata, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat. 28:19).

Dan bagaimana ini dilakukan? Dengan pewartaan, dengan instruksi lisan: Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rm. 10:17). Gereja akan selalu menjadi guru yang hidup. Merupakan kesalahan untuk membatasi “sabda Kristus” hanya pada kata-kata tertulis atau untuk menyarankan bahwa semua ajaran-Nya direduksi menjadi tulisan. Alkitab tidak mendukung kedua gagasan tersebut.

Lebih jauh lagi, jelas bahwa ajaran lisan Kristus akan bertahan sampai akhir zaman. “…’tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya’. Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu” (1 Pet 1:25). Perhatikan bahwa firman tersebut telah “disampaikan” —yaitu, dikomunikasikan secara lisan. Ini akan bertahan. Tidak akan digantikan (supplanted) oleh catatan tertulis seperti Alkitab ((ditambah (supplemented), ya; tapi tidak diganti)), dan akan terus memiliki otoritasnya sendiri.

Hal ini menjadi jelas ketika rasul Paulus mengatakan kepada Timotius: “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain” (2 Tim 2:2). Di sini kita melihat beberapa mata rantai pertama dalam rantai Tradisi apostolik yang telah diturunkan secara utuh dari para rasul hingga zaman kita sekarang. Paulus menginstruksikan Timotius untuk menyampaikan ajaran-ajaran lisan (Tradisi) yang dia terima dari sang rasul. Dia harus memberikan ini kepada orang-orang yang bisa mengajar orang lain, dengan demikian melanggengkan rantai itu. Paulus memberikan instruksi ini tidak lama sebelum kematiannya (lih. 2 Tim 4:6–8) sebagai pengingat kepada Timotius tentang bagaimana dia harus melakukan pelayanannya.

…halaman berikut


[1] Lih. KONSILI TRENTE, Sidang IV, dalam teks yang sama: DENZ. 783 (1501).

[2] Versi terjemahan dari ; https://www.katolisitas.org/konstitusi-dei-verbum/#_edn13 .

[3] Terejemahan bahasa Inggris justru lebih jelas menyebut kata ajaran-ajaran dengan Tradisi-tradisi; “stand firm and hold to the traditions which you were taught by us, either by word of mouth or by letter” …red.

Leave a comment