23. Penggunan Dupa dan Lilin dalam Upacara-upacara Liturgi

Mengapa Itu Ada Dalam Tradisi?

Dupa adalah sebuah simbol yang kaya dari doa-doa kita yang naik kepada Tuhan. Persembahan pujian dan penyembahan yang harum adalah analogi yang disampaikan dupa kepada indra kita. Penggunaan dupa secara liturgis dalam upacara Bait Suci merupakan bagian integral dari ibadah Yahudi selama berabad-abad (lih. Kel 30:7-8; Im 4:7; 1 Rj 9:25). Dalam Kitab Wahyu, St. Yohanes menggambarkan penglihatannya yang mengagumkan tentang liturgi surgawi di mana dia melihat dupa (kemenyan) dipersembahkan kepada Tuhan, dan dia mengatakan bahwa dupa itu “bersama-sama dengan doa semua orang kudus” (lih. Why 8:3-4). Simbolisme itu mengingatkan kita pada doa orang-orang kudus dan juga “bau yang harum dari Kristus” yang dibicarakan St. Paulus secara puitis dalam 2 Kor 2:14-16.

23. DUPA

Kebiasaan Orang Katolik

Katolik kadang-kadang disebut agama “lonceng dan bau” [bells and smells]. Tradisi kita melibatkan seluruh pribadi. Tuhan menciptakan kita sebagai kesatuan tubuh dan jiwa, dan kita mengembalikan diri kita sepenuhnya kepada-Nya dalam ibadah. Kita menyembah Dia dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24); dan dalam “penyembahan rohani” kita “mempersembahkan tubuh kita” juga “sebagai korban yang hidup” (Rom 12:1). Jadi, ibadah Gereja melibatkan semua yang kita miliki, termasuk indra-indra tubuh dan rohani kita. Dalam liturgi, kita merenungkan Injil, tapi tidak hanya itu. Kita mendengarnya, melihatnya, merasakannya, mengecapnya, dan menciumnya juga. Kita membunyikan lonceng untuk mewartakan kehadiran Tuhan. Kita membakar dupa harum di depan altar-Nya.