11. Setelah jatuhnya Roma, Gereja menganiaya orang kafir dan menjalankan pertobatan dengan pedang

Abad Pertengahan

Gregorius berjalan melalui pasar budak di Roma dan menemukan sekelompok orang yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Mereka berkulit terang, dengan mata biru dan rambut pirang, dan sangat berbeda dari orang Mediterania dan Afrika yang diharapkannya untuk dilihat. Dia menoleh ke temannya dan bertanya apakah dia tahu asal usul orang-orang unik ini. Rekannya mengatakan kepadanya bahwa mereka adalah “Angels” [malaikat, atau mungkin suku Anglia…red], etnis penyembah berhala Jerman yang, bersama dengan Saxon dan Jute, telah meninggalkan benua Eropa dan menetap di Inggris pasca-Romawi.

Gregorius menjawab bahwa orang-orang itu bukanlah Malaikat tetapi “malaikat”, dan “betapa sedihnya makhluk dengan wajah cerah seperti itu harus menjadi budak pangeran kegelapan ketika mereka seharusnya menjadi ahli waris bersama dengan para malaikat di surga”.[1] Dia bersumpah bahwa jika dia punya kesempatan untuk membantu orang-orang ini menerima terang Kristus, dia akan melakukannya. Dia akhirnya mampu memenuhi janji itu bertahun-tahun kemudian ketika, sebagai penerus St. Petrus, dia menugaskan St. Augustinus dari Canterbury dan empat puluh biarawan untuk melakukan perjalanan ke Inggris dan menyebarkan Injil.

Kepausan St. Gregorius Agung (memimpin 590–604) menggambarkan fokus Gereja pada aktivitas misionaris yang damai di Eropa pasca-kekaisaran. Memerintah lebih dari satu abad setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, Gregorius melanjutkan dan memperluas upaya misionaris Gereja di seluruh benua Eropa yang didominasi oleh berbagai etnis Jerman yang, meskipun dalam beberapa kasus diromanisasi, masih berpegang pada kepercayaan dan praktik-praktik pagan leluhur mereka. Misi Agustinus di Inggris berhasil, karena Injil menyebar dengan damai di antara para Angles dan Saxon. Agustinus menulis surat kepada Paus Gregorius meminta nasihatnya tentang bagaimana menangani situasi tertentu yang rumit; misalnya, apa yang harus dilakukan dengan kuil-kuil kafir: Haruskah dihancurkan? Tanggapan Gregorius meletakkan dasar prinsip misionaris Katolik selama berabad-abad kemudian:

Hancurkan kuil pagan seminim mungkin; hanya menghancurkan berhala-berhala mereka, perciki mereka dengan air suci, bangun altar dan letakkan relik-relik di dalam bangunan, sehingga, jika kuil-kuil telah dibangun dengan baik, kamu hanya mengubah tujuan mereka, yang mana merupakan pemujaan kepada setan, menjadikannya tempat dimana mulai saat ini Allah yang benar akan disembah. Dengan demikian, orang-orang, yang melihat bahwa tempat ibadah mereka belum dihancurkan, akan melupakan kesalahan-kesalahan mereka dan, setelah memperoleh pengetahuan tentang Allah yang benar, akan datang untuk menyembah Dia di tempat nenek moyang mereka berkumpul.[2]

Seabad sebelum Gregorius mengirim Agustinus ke Inggris, misionaris Katolik lainnya sedang bekerja di sebuah pulau di lepas pantainya. Para perompak Irlandia telah menangkap seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun dari rumahnya di Inggris dan menjualnya sebagai budak di Irlandia. Dia bekerja di sana selama enam tahun sebagai gembala sebelum berhasil melarikan diri dan kembali ke rumah. Dimotivasi oleh kasih Kristus dan keinginan untuk menyebarkan Injil di antara mantan tuannya, St. Patrisius kembali ke Irlandia, kali ini dengan sukarela.

Pekerjaan misionarisnya berhasil, dan warisannya yang abadi adalah pengorganisasian Gereja di Irlandia dan menghubungkannya dengan Gereja Roma. Dalam waktu lima puluh tahun setelah kematian Patrisius, seluruh orang Irlandia telah memeluk agama Katolik. Dan meskipun pertobatan mereka “tidak secepat seperti yang disarankan oleh legenda selanjutnya”, tulis Warren Carroll, “[pertobatan] mereka sangat cepat, luar biasa menyeluruh, dan di atas segalanya, dalam keadaan damai”.[3] Dan seturut kehendak Tuhan: Pada abad keenam, para biarawan-misionaris dari Emerald Isle berlayar ke benua Eropa untuk menginjili suku-suku Jermanik kafir, membawa sebuah persatuan iman ke benua itu dan membantu membentuk masa depan Eropa dan Gereja.

Penyebaran Injil secara damai berlanjut di Eropa melalui upaya uskup St. Bonifasius (680–754), yang dikenal sebagai “Rasul untuk orang-orang Jerman” dan “misionaris terbesar sejak St. Paulus”.[4] Berasal dari Inggris, bernama asli Winfrid, dia adalah penerima manfaat dari penginjilan oleh Agustinus dan teman-temannya di abad keenam. Winfrid bergabung dengan biara Benediktin pada usia tujuh tahun, dan ditahbiskan menjadi imam pada usia tiga puluh. Dia memutuskan untuk menjadi seorang misionaris, dan pergi ke Roma untuk mengabdi kepada Paus St. Gregorius II (memimpin 715–731), yang mengubah nama Winfrid menjadi Bonifasius, dan menugaskannya untuk membawa Injil kepada suku-suku pagan Jerman di Thuringia, Bayern, Franconia, dan Hesse.

Bonifasius meraih sukses besar melalui “aktivitasnya yang tak kenal lelah, bakatnya untuk berorganisasi, dan karakternya yang mudah beradaptasi, ramah, namun tegas”.[5] Menurut tradisi Katolik, Bonifasius-lah yang memulai kebiasaan pohon Natal, ketika ia mengunjungi desa Geismar pada malam Natal. Setiap tahun, penduduk desa berkumpul di sekitar Thunder Oak besar yang didedikasikan untuk dewa Thor dan mengorbankan seorang anak kecil kepada dewa pagan. Bonifasius dan teman-temannya bergerak ke Geismar dan menghentikan ritual mereka. Bonifasius meraih kapak dan dengan satu ayunan secara ajaib menebang pohon ek yang besar itu. Di belakang pohon tumbang itu ada pohon cemara. Bonifasius mengkhotbahkan Injil dengan menggunakan pohon cemara sebagai sarana penginjilan, menghubungkan kuncup cemara yang hijau sepanjang tahun dengan kehidupan kekal. Dia mendesak para penduduk desa yang takjub untuk menempatkan pohon cemara di rumah mereka sebagai tanda iman mereka yang baru. Penaklukan dewa Thor selesai ketika seluruh suku dibaptis. Bertahun-tahun kemudian di Frisia, pada usia hampir delapan puluh tahun, Bonifasius menjadi martir karena Iman saat merayakan Misa dengan para petobat yang baru dibaptis.

Ada satu kasus terkenal tentang pertobatan dengan pedang selama masa pemerintahan Charlemagne (742–814), raja kaum Frank dan kaisar Kekaisaran Romawi Suci pada akhir abad kedelapan dan awal abad kesembilan. “Uskup” wanita pertama di Gereja Episkopal, Katharine Jefferts Schori, mengenang episode sejarah ini dalam sebuah wawancara dengan The New York Times. Ditanya tentang Pidato Regensburg[6] kontroversial Paus Benediktus XVI (12 September 2006) dan reaksi Muslim terhadapnya, Schori menjawab bahwa mengklaim bahwa Islam memiliki sejarah kekerasan berarti mengklaim hal yang sama tentang iman Kristen, karena “Charlemagne mempertobatkan seluruh suku dengan pedang“.[7]

Kisah sebenarnya lebih kompleks. Charlemagne mewarisi kerajaan yang menderita di bawah kepemimpinan raja-raja Merovingian yang lemah. Ayahnya, Pepin the Short (714–768), menggulingkan dinasti Merovingian dan menghantar kerajaan di jalan menuju kemakmuran dan kemuliaan yang lebih besar. Charlemagne menginginkan kerajaan yang bersatu tidak hanya secara politik, tetapi juga secara budaya dan agama. Sekelompok pengacau perdamaian yang masih kafir, Saxon, sering menyerbu wilayah Frank —membunuh, memperkosa, dan menyebabkan malapetaka dan aniaya secara umum. Saxon adalah orang-orang yang sangat kafir yang melakukan pengorbanan manusia dan ritual kanibalisme. Charlemagne melancarkan invasi militer ke Sachsen yang menundukkan orang-orang kafir untuk sementara waktu, tetapi mereka kembali, yang mengakibatkan perlawanan kaum Frank, dan siklus itu berlanjut selama tiga puluh tahun.

Charlemagne menjadi percaya bahwa satu-satunya cara untuk sepenuhnya menenangkan orang-orang Saxon yang biadab adalah dengan membawa mereka ke dalam Iman melalui paksaan, karena upaya-upaya misionaris sebelumnya tidak membuahkan hasil. Keputusannya untuk menggunakan kekerasan bukanlah kebijakan standar ketika menundukkan suku-suku non-Kristen yang dihadapi oleh kaum Frank, tetapi ketegaran dan keganasan orang Saxon, dalam pikiran Charlemagne, membutuhkan tindakan yang ekstrim. Akhirnya, pada tahun 785, penguasa Saxon menerima baptisan, dan kampanye-kampanye kekerasan yang panjang berakhir. Charlemagne memberlakukan hukum konversi yang ketat yang dikenal sebagai capitularies untuk memastikan Saxon tetap dalam Iman.[8] Konversi paksa kaum Saxon oleh Charlemagne merupakan insiden terpisah dalam sejarah Kristen dan dilakukan untuk kepentingan politik dan keamanan nasional; dan itu tidak diperintahkan oleh Gereja.


Kisah Sebenarnya

Mitos bahwa Gereja secara paksa mempertobatkan suku-suku Jermanik di Eropa setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat tidak didukung oleh bukti sejarah. Faktanya, bukti sebaliknya mendukung — Gereja dengan damai menginjili suku-suku pagan melalui tindakan misionaris suci yang menghormati orang-orang yang di mana mereka diutus untuk membawa Injil Kristus. Banyak dari misionaris ini mengalami kemartiran berdarah, memberikan hidup mereka untuk kasih Tuhan dan Gereja-Nya. Pertobatan yang secara paksa terjadi adalah kebijakan penguasa sekuler, bukan Gereja, dan dilakukan hanya dalam batas-batas yang ditentukan secara sempit. Pengalaman penganiayaan Gereja di bawah Kekaisaran Romawi, dan ajarannya menghormati kehendak bebas setiap individu, mencegahnya untuk mendukung pertobatan secara paksa. Injil menyebar di Eropa bukan dengan pedang, tetapi melalui kesaksian penuh kasih dari mereka yang memeluk kebenaran Yesus dan Gereja-Nya.


[1] Homes F. Dudden, Gregory the Great: His Place in History and Thought, vol. 1 (New York: 1905, 1967), 196–197. Dikutip dlm. Carroll, The Building of Christendom, 197.

[2] Letters XI, 56 dlm. Comby, How to Read Church History vol. 1, 123.

[3] Carroll, The Building of Christendom, 123.

[4] John Vidmar, O.P., The Catholic Church Through the Ages: A History (New York: Paulist Press, 2005), 83.

[5] Paus Benediktus XVI, Church Fathers and Teachers from Saint Leo the Great to Peter Lombard (San Francisco: Ignatius Press, 2010), 80.

[6] Benediktus XVI, “Faith, Reason and the University Memories and Reflections.” Kuliah di Universitas Regensburg, September 12, 2006, http://www.vatican.va/content/benedict-xvi…etc  diakses pada Agustus 2, 2017.

[7] Deborah Solomon, “State of the Church,” New York Times Magazine, November 19, 2006,  https://www.nytimes.com/2006/11/19/magazine/19WWLN_Q4.html diakses pada Februari 3, 2017.

[8] Ini termasuk peringatan ketat ini: “Anyone who, in contempt of the Christian Faith, refuses to respect the holy fast of Lent and eats meat shall be put to death” [Siapapun yang, dalam penghinaan terhadap Iman Kristen, menolak untuk menghormati puasa suci Prapaskah dan makan daging akan dihukum mati…red] Comby, How to Read Church History, 123.


Leave a comment