VIII. SINAGOGA YAHUDI – PAROKI KATOLIK

Rabi yang Disalibkan

Saya hanya dapat menerima Gereja yang dikhotbahkan kepada semua makhluk oleh nenek moyang saya sendiri, ke-Dua Belas Rasul, yang, seperti saya, dikeluarkan dari Sinagoga.
– Rabi Israel Eugenio Zolli1

Maria dan Yusuf dengan patuh membawa Yesus ke sinagoga di mana Dia belajar Kitab Suci, berdoa, dan bergaul dengan para ahli hukum (Taurat). Sinagoga adalah konteks di mana Yesus dikenal sebagai seorang rabi. Sinagoga hanyalah sebuah rumah pertemuan atau ibadah. Kata synagogue berasal dari kata Yunani yang berarti “berkumpul bersama” (a coming together). Dalam bahasa Ibrani bangunan sinagoga disebut sebagai beit knesset (house of assembly) yang berarti “rumah pertemuan” atau sebagai beit tefila yang berarti “rumah doa” (house of prayer).

Gagasan tentang sinagoga tidak berasal dari tahun-tahun awal sejarah Israel. Kemungkinan baik Musa maupun Daud belum pernah mendengar tentang bangunan formal yang didedikasikan untuk ibadat orang Yahudi selain dari tabernakel atau bait suci. Pada zaman Musa, ibadah berpusat di sekitar karya pengorbanan para imam di tabernakel dan kemudian di Bait Suci Yerusalem. Namun, ada beberapa bukti bahwa orang Ibrani mula-mula berkumpul bersama dalam kebaktian yang berbeda dari ibadah yang terpusat di Bait Allah. Tradisi Yahudi menemukan asal usul tradisi sinagoga dalam nasihat yang diterima Musa dari ayah mertuanya (bdk. Kel 18:14-27). Di sini kita membaca bahwa rakyat harus dibagi dan diperintah oleh para ahli Hukum setempat. Yudaisme melihat dalam perikop ini terciptanya persekutuan / kumpulan khusus (sinagoga-sinagoga) yang diatur oleh para sarjana Hukum (para rabi).

Seperti dijelaskan di atas, bangsa Babilonia menghancurkan Bait Suci Salomo pada tahun 586 SM, dan bangsa Yahudi tercerai-berai selama apa yang disebut Pembuangan Babilonia. Dengan hancurnya Bait Suci dan orang-orang Yahudi yang terperangkap di pengasingan, sinagoga lokal menjadi sangat penting. Pada masa inilah orang Yahudi mulai mendedikasikan rumah ibadah khusus di mana mereka dapat berdoa, bernyanyi, dan mempelajari Kitab Suci. Tempat pertemuan ini menjadi cikal bakal dari apa yang sekarang kita kenal sebagai sinagoga-sinagoga.

Bahkan setelah Bait Suci dibangun kembali, tradisi sinagoga tetap ada di mana pun orang Yahudi tinggal. Sinagoga mengizinkan orang Yahudi untuk memiliki tempat berdoa di mana pun mereka tinggal. Bait Suci di Yerusalem tentu saja merupakan tempat pengorbanan yang dilembagakan secara ilahi dan tidak dapat dibangun kembali di tempat lain. Karena alasan ini, orang Yahudi tidak melakukan pengorbanan hewan di sinagoga.

Sinagoga tidak membutuhkan kehadiran seorang imam Lewi. Bukannya para imam, para rabi-lah yang memegang tempat terhormat sebagai sarjana-sarjana hukum. Seorang rabi hanyalah seorang “sarjana / ahli” (master) dari tradisi Yahudi. Mereka bukan imam dan tidak sesuai dengan jabatan yang dilembagakan untuk imam keturunan Harun. Mereka hanyalah para sarjana yang juga menyerap karya pastoral masyarakat setempat. Yesus sendiri bukanlah seorang imam Harun tetapi diakui sebagai seorang rabi oleh para pengikut-Nya dan bahkan oleh musuh-musuh-Nya. Nampaknya Yesus tidak pernah memegang posisi kerabian di sinagoga meskipun Dia sering ke sinagoga dan sering diminta untuk memberikan homili (Luk 7:5).

Orang Yahudi diharapkan berkumpul di sinagoga pada hari Sabat dan pada hari-hari suci. Sinagoga-sinagoga ortodoks memelihara jadwal doa harian. Sinagoga juga berfungsi sebagai tempat meresmikan bar mitzvah dan sekolah Ibrani.

Struktur Sinagoga

Sinagoga-sinagoga modern cenderung dibangun dengan sebuah rancangan yang menyerupai ciri-ciri khusus Bait Suci dengan cara berikut:

Orientasi: Sinagoga biasanya menghadap Yerusalem sehingga mereka yang berkumpul menghadap ke lokasi geografis tempat Bait Suci pernah berdiri.

Dekorasi: Sinagoga-sinagoga ortodoks dihiasi dengan karya seni yang indah, tetapi patung tiga dimensi tidak diperbolehkan karena takut akan penyembahan berhala. Jendela-jendela sinagoga tradisional berbentuk persegi di bagian bawah dan bundar di bagian atas untuk melambangkan bentuk Loh-loh Hukum (Tables of the Law) – yakni Sepuluh Perintah yang diterima Musa dari Tuhan. Beberapa sinagoga menampilkan dua belas jendela simbolis yang mewakili dua belas suku Israel.

Aron Ha-Kodesh: Tabut suci yang menampung Kitab Suci. Itu mengingatkan kembali pada Tabut Perjanjian, yang berisi versi batu dari Sepuluh Perintah. Tabut suci dianggap sebagai tempat tersuci di sinagoga. Tabut suci biasanya diselubungi dengan tirai berornamen yang disebut parokhet (yang mungkin disebut umat Katolik sebagai ‘tabir tabernakel’ (tabernacle veil, kain penutup tabernakel canopeum…red)).

Ner Tamid: Lampu abadi yang menyala di depan tabut suci. Itu melambangkan menorah besar yang berdiri di Tempat Kudus Bait Suci di luar Ruang Maha Kudus.

Bimah: Panggung tempat Kitab Suci dibacakan untuk umum.

Amud: Mimbar yang digunakan oleh rabi dan penyanyi untuk doa dan nyanyian.

Struktur Paroki Katolik

Gereja Katolik tumbuh dari sinagoga Yahudi. Kitab Kisah Para Rasul mencatat cara Rasul Paulus menginjili dunia. Pertama, dia pergi ke sinagoga dan memberitakan Injil. Para pengikut awalnya biasanya adalah orang Yahudi yang kemudian menjadi inti dari komunitas Kristen setempat. Surat Yakobus dalam Perjanjian Baru secara blak-blakan mengacu pada tempat pertemuan Kristen mula-mula sebagai sinagoga:

Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: “Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!”, sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: “Berdirilah di sana!” atau: “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!”, bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat? (Yak 2:2-4; terjemahan Inggris: For if a man with gold rings and in fine clothing comes into your synagogue, and a poor man in shabby clothing also comes in and you pay attention to the one who wears the fine clothing and say, “Have a seat here, please,” while you say to the poor man, “Stand there,” or, “Sit at my feet,” have you not made distinctions among yourselves, and become judges with evil thoughts?).

Para uskup Kristen yang menggantikan para Rasul pada awal abad kedua menjelaskan bahwa umat Kristen mula-mula hanya merayakan Ekaristi dalam persekutuan dengan uskup mereka. Para uskup awal seperti St. Ignatius dari Antiokhia († 108 M, dapat dibaca DI SINI , DI SINI) dan St. Polikarpus dari Smirna († 155 M, dapat dibaca DI SINI) menunjukkan bahwa uskup adalah selebran utama dari Ekaristi Kudus.

Ketika Gereja mula-mula tumbuh, tidak mungkin lagi setiap orang Kristen bergabung dengan uskup untuk beribadah. Muncullah kumpulan kecil lokal yang tetap bersatu dengan uskup. Gereja mengenali tempat di mana uskup memimpin dan lokasi satelit lainnya di mana para presbiter atau imamnya akan merayakan Ekaristi Kudus. Hal ini menimbulkan perbedaan antara gereja katedral uskup dan gereja paroki para imamnya. Perbedaan utama antara paroki dan sinagoga adalah bahwa paroki Katolik mempertahankan imam dan ibadah kurban, sedangkan sinagoga Yahudi tidak melanjutkan ritus yang berhubungan dengan kurban imam di Bait Suci. Sinagoga-sinagoga Yahudi hanya merayakan liturgi sabda.

Terlepas dari perbedaan kritis dalam praktik antara sinagoga dan paroki, keduanya mempertahankan sejumlah hubungan penting. Misalnya, fitur arsitektur sebuah sinagoga mengungkapkan hubungan yang sama dengan paroki Katolik. Setiap paroki Katolik memiliki tabut suci yang kita sebut tabernakel. Tabernakel menampung bukan hanya Firman Allah, tetapi Firman yang menjadi manusia — Tubuh Kristus sendiri. Tabernakel juga merupakan tempat tersuci dalam sebuah gereja, bukan karena tabernakel itu memberitahu kita tentang Tuhan (seperti dalam Taurat), tetapi karena tabernakel berisi Tuhan itu sendiri. Perlu dicatat bahwa orang Yahudi tidak akan berpikir untuk menempatkan tabut suci di mana pun kecuali di tengah sinagoga — sesuatu yang sebaiknya diamati oleh arsitek Katolik modern. Di sinagoga, tabut suci mendapat posisi arsitektur paling menonjol.

Seperti sinagoga-sinagoga Yahudi, gereja Katolik juga memiliki Ner Tamid atau lampu abadi yang menyala di depan tabernakel untuk mengumumkan kepada dunia bahwa Kristus hadir di antara kita. Bimah dan amud Yahudi sesuai dengan mimbar atau ambo di gereja kita di mana Kitab Suci dibaca dan di mana imam mewartakan kabar baik tentang penebusan Kristus yang kekal.

Umat ​​Katolik juga percaya bahwa gereja mereka harus didekorasi dengan gambar. Karena kita percaya bahwa Tuhan menjadi seorang manusia yang tiga dimensi, kita percaya bahwa Dia dan semua orang kudus dapat digambarkan dalam patung tiga dimensi. Seperti yang pernah dijelaskan oleh St. Yohanes Damaskus († 749 M), inkarnasi Kristus dimunculkan dalam gambaran-gambaran ekonomi baru untuk Perjanjian Baru. Setiap paroki Katolik menghormati misteri ini dengan karya seni yang menyatakan bahwa Tuhan benar-benar ada di antara kita. Karya seni juga melambangkan bahwa “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita” (Ibr 12:1) ketika kita berkumpul di sekitar Ekaristi Kudus.2 Setiap kali kita berkumpul untuk Ekaristi Kudus, kita berkumpul bersama dengan semua orang kudus dan dengan semua paduan suara malaikat di Surga. Paroki Katolik benar-benar sebuah sinagoga atau “berkumpul bersama” tidak hanya dari persekutuan lokal, tetapi juga dengan seluruh persekutuan Surga.


1  I can accept only that Church which was preached to all creatures by my own forefathers, the Twelve Apostles, who, like me, issued from the Synagogue.

2  Baca juga 15. Para Kudus : Saksi Bagaikan Awan, juga Persekutuan Para Kudus yang Alkitabiah, dan 8. Penghormatan kepada maria dan para kududs serta berdoa kepada mereka, dan Kebiasaan Orang Katolik : Misa, secara tegas tertulis dalam rumusan “Imam” dalam Doa Ekaristi, dapat dibaca di sini: BAB 30. Liturgi St. Yakobus, dan St. Klemens dari Aleksandria.


Leave a comment