10.5. Ajaran Yakobus

pembenaran

Sejak Reformasi, Surat Yakobus telah dianggap sebagai salah satu dari saksi-saksi paling kontroversial atas ajaran Alkitab tentang pembenaran. Luther mengatakannya seperti ini:

Surat Yakobus itu memberi kita banyak masalah, karena para paus menerimanya sendirian dan mengabaikan yang lainnya. Sampai saat ini saya telah terbiasa menghadapi dan menafsirkannya sesuai dengan pengertian Kitab Suci lainnya… Jika mereka tidak mau menerima penafsiran saya, maka saya akan membuat puing-puingnya juga. Saya hampir ingin melemparkan Jimmy (James / Yakobus…red) ke kompor, seperti yang dilakukan pendeta di Kalenberg.1

Luther mengacu pada sebuah episode di desa Kalenberg di Jerman, di mana seorang imam membakar patung-patung kayu para rasul untuk memberikan kehangatan bagi seorang bangsawan yang berkunjung. Godaan Luther untuk membakar Surat Yakobus yang sebenarnya mengungkapkan hubungan yang bertentangan yang dia miliki dengan bagian Kitab Suci ini. Kata pengantar aslinya tahun 1522 mencemooh surat Yakobus itu sebagai “surat jerami”, meskipun ia kemudian mengakui bahwa Yakobus “mempromulgasikan hukum-hukum Allah”.2 Sumber konflik Luther adalah penegasan Yakobus yang berulang-ulang bahwa perbuatan diperlukan untuk pembenaran seseorang.

Jauh dari mengajarkan gagasan bahwa kita diselamatkan terpisah dari perbuatan, Yak 2:17 mengatakan, “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati”. Ayat 21 mengacu pada bagaimana Abraham dan Rahab dibenarkan oleh perbuatan mereka. Faktanya, satu-satunya perikop dalam Perjanjian Baru yang berisi frasa “iman saja” (faith alone, Yun. pisteos monon) adalah Yak 2:24: “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” [terjemahan Inggris berbunyi: You see that a man is justified by works and not by faith alonered]. Menanggapi bagian-bagian ini, para apologis Protestan biasanya mengadopsi dua strategi, yang keduanya melibatkan pendefinisian ulang kata-kata kunci dalam surat tersebut.

Pertama, mereka mengatakan referensi Yakobus untuk “iman” adalah iman yang kosong, mati, atau tidak autentik. Ini bukanlah jenis iman yang sama seperti yang dikatakan Paulus yang mampu membenarkan kita terpisah dari melakukan hukum Taurat (Rm 4:15). Kedua, Protestan sering mengatakan Yakobus sedang berbicara tentang apa yang membenarkan atau membuat kita benar di hadapan manusia atau orang lain—bukan apa yang membenarkan kita di hadapan Allah. Jika pembenaran adalah peristiwa satu kali di hadapan Allah, maka Abraham tidak dapat dibenarkan ketika dia mematuhi perintah untuk mempersembahkan Ishak (Yak 2:21; Kej 22:1-14), karena dia telah dibenarkan ketika dia pertama kali percaya kepada Allah (Rm 4; Kej 15:6). Sebaliknya, ketaatan Abraham kepada Tuhan pastilah pantas dipuji oleh manusia, daripada kebenaran Tuhan.

Tetapi apakah ini yang Yakobus maksudkan dengan istilah “iman” (faith) dan “membenarkan” (justify)?

Bagian utama yang kita perhatikan adalah Yak 2:14-26, tetapi kita tidak boleh mengabaikan bagian lain dari surat ini. Sebelum perikop ini Yakobus berbicara kepada sesama orang Kristen dan berbicara tentang iman mereka yang diuji melalui pencobaan, yang akan membuat mereka “sempurna dan utuh” (Yak 1:4). Iman ini melibatkan kepercayaan penuh kepada Tuhan, tetapi Yakobus tidak mengatakan bahwa orang yang setialah (faithful) yang akan menerima “mahkota kehidupan” (1:12). Sebaliknya, orang yang telah menanggung ujian dan cobaan hidup dan merupakan pelaku firman dan bukan sekadar pendengar yang akan menerima upah seperti itu. Yakobus juga mengatakan bahwa agama (Religion, terjemahan Indonesia menggunakan kata “ibadah”…red) yang benar bukan hanya sebuah pengakuan iman tetapi nyata pada mereka yang “mengunjungi anak yatim dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia” (1:27).

Yakobus kemudian membuat satu-satunya rujukannya pada iman di dalam Kristus di mana ia memperingatkan mereka yang “beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita” bahwa mereka harus “tidak memandang muka” terutama terhadap orang kaya (2:1). Yakobus mengatakan bahwa kita “memenuhi hukum utama” dan “berbuat baik” ketika kita mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri (2:8). Mari kita mulai dengan ayat 14, yang mengatakan, “Apa gunanya, saudara-saudaraku, jika seseorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?”

Beberapa pembela sola fide mengklaim bahwa Yakobus mengacu pada seseorang yang “mengatakan” atau “mengklaim” dia memiliki iman dan bukan seseorang yang benar-benar memiliki iman. Orang ini memiliki iman yang kosong atau mati yang tidak mampu menyelamatkannya. Para pembela ini memperkuat interpretasi ini dengan menerjemahkan kata “iman” (he pistis) dalam klausa kedua sebagai “iman itu” (that faith) atau “iman seperti itu” (such faith). Dalam terjemahan seperti itu Yakobus bertanya, “Dapatkah iman seperti itu [yaitu, iman yang mati] menyelamatkan seseorang?” Parafrase dari bagian ini dalam terjemahan Alkitab yang sangat longgar yang dikenal dengan The Message merangkum apa yang menurut sebagian besar orang Protestan bahwa Yakobus sedang berkata: “Apakah hanya berbicara tentang iman menunjukkan bahwa seseorang benar-benar memilikinya?” [Does merely talking about faith indicate that a person really has it?].

Berkenaan dengan Yak 2:14, John MacArthur mengatakan, ” ‘Jika seorang mengatakan’ adalah frasa yang menentukan penafsiran seluruh bagian”.3 Tetapi jika itu benar, maka kesimpulan sola fide yang berasal dari perikop ini menjadi sangat lemah. Itu karena sementara he pistis dapat diterjemahkan sebagai “iman itu”, secara harfiah berarti “iman” (“the faith” atau “faith”), seperti yang dapat dilihat dalam terjemahan KJV, “can faith save him?”. Yakobus tidak peduli dengan apakah seseorang memiliki iman yang benar. Ia selalu menegaskan konsep iman sebagai sesuatu yang baik meskipun tidak lengkap tanpa konsep terpisah dari perbuatan. Scot McKnight berkata, “Tidak peduli seberapa keras kita, para Protestan, mencoba menyelesaikan ini, intinya bagi Yakobus adalah memiliki perbuatan”.4

Menurut White, “Inti keseluruhannya adalah sama bahwa: iman tanpa perbuatan bukanlah iman yang menyelamatkan”.5 Tetapi Yakobus tidak sedang mengajarkan tentang pentingnya memiliki “iman yang menyelamatkan” (saving faith) atas apa yang oleh orang-orang Protestan disebut sebagai iman yang mati, tanpa perbuatan, atau tidak autentik. Ungkapan “iman yang menyelamatkan” bahkan tidak pernah ditemukan dalam Surat Yakobus (atau di mana pun di dalam Alkitab). Bahwa Yakobus tidak berbicara tentang jenis iman yang salah menjadi jelas ketika seseorang mengganti kata “iman yang mati / tanpa perbuatan / tidak autentik” dengan kata “iman” seperti yang digunakan di bagian selanjutnya dari surat ini.6 Perhatikan apa yang terjadi pada Yak 2:17-20:

Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.Tetapi mungkin ada orang berkata: “Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan”, aku akan menjawab dia: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.” Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar. Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?

…halaman berikut


1  “That epistle of James gives us much trouble, for the papists embrace it alone and leave out all the rest. Up to this point I have been accustomed just to deal with and interpret it according to the sense of the rest of Scriptures… If they will not admit my interpretations, then I shall make rubble also of it. I almost feel like throwing Jimmy into the stove, as the priest in Kalenberg did”, Luther’s Works, 3:317.

2  “promulgates the laws of God”, Ibid., 35:362.

3  John MacArthur, James (Nashville, TN: Thomas Nelson, 2007), 124.

4  “No matter how hard we Protestants might try to work this out, the bottom line for James is having works”, Scot McKnight, The Letter of James (Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans, 2011), 228.

5  James R. White, The God Who Justifies (Bloomington, MN: Bethany House, 2001), 331.

6  Jimmy Akin, The Drama of Salvation (San Diego: Catholic Answers Press, 2014), kindle edition.

Leave a comment