BAB V : St. PERPETUA

Tujuh Belas Pejuang Kudus

Sang Gladiator Rohani (meninggal sekitar thn 203)

Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara. Efesus 6:11–12


Teror-teror Nero hanyalah awal dari penganiayaan-penganiayaan oleh kekaisaran Romawi atas penyelenggaraan Setan. Sejak masa pemerintahannya, menjadi seorang Kristen dianggap sebagai kejahatan yang dapat dihukum mati, meskipun pengampunan dapat diperoleh jika seorang percaya secara terbuka menolak Kristus dan memberi hormat kepada dewa-dewa kafir. Menyusul kemudian, sembilan penganiayaan besar oleh berbagai kaisar, dengan banyak serangan terhadap Gereja yang difokuskan pada wilayah tertentu.

Penganiayaan besar kelima, di bawah kaisar Septimus Severus, terjadi pada tahun-tahun pertama abad ketiga. Di provinsi Romawi Afrika Utara, iblis telah menciptakan permusuhan besar di antara orang-orang kafir setempat terhadap orang-orang Kristen. Sekitar tahun 203, di kota besar Kartago, sekelompok katekumen ditangkap — mereka yang menerima pengajaran untuk masuk sebagai anggota Gereja tetapi belum dibaptis.

Di antara mereka adalah Perpetua, seorang wanita bangsawan yang sudah menikah, berusia sekitar dua puluh dua tahun, yang masih menyusui bayi laki-lakinya. Dia dan yang lainnya mendapat kesempatan untuk mengatur sebuah pembaptisan yang  lebih dini [tergesa-gesa, dan diam-diam…red] sebelum mereka akhirnya ditahan. Rahmat-rahmat dari sakramen menyelamatkan mereka dari kuasa kegelapan dan membantu mempersiapkan mereka untuk pertarungan rohani yang akan datang.[1]

Iblis mencobai lewat ayahnya

Orang-orang yang baru menjadi Kristen dilemparkan ke dalam ruang bawah tanah yang gelap dan kotor di bawah penjara, dikelilingi dan diintimidasi oleh para penjaga kekaisaran yang seperti binatang. Tidak diragukan Musuh membisikkan pikiran-pikiran yang mengganggu ke dalam benak Perpetua: bayangan-bayangan tentang nasib yang mengerikan yang menantinya, suara-suara bayinya yang berteriak sendirian karena menjadi yatim piatu.

Namun yang lebih meresahkan dan lebih kuat, adalah kata-kata yang diucapkan oleh sang ayah terkasihnya namun diilhami oleh sang Musuh. Ayahnya adalah seorang penyembah berhala, dan tanpa disadari, dia menjadi alat pencobaan Iblis. Dalam buku harian peninggalannya selama di penjara, Perpetua menggambarkan kesedihan yang luar biasa yang dia rasakan karena demi Tuhannya, dia harus berduka dan tidak menaati ayahnya:


[1] Kisah ini berdasarkan teks abad ketiga yang dikenal dengan The Martyrdom of Perpetua and Felicitas [Kemartiran Perpetua dan Felisitas], yang berisi buku harian di penjara dari St. Perpetua dan sumber dari beberapa orang sezamannya. Dialog yang dikutip diadaptasi dari terjemahan R.E Wallis yang muncul dalam lampiran Alexander Roberts dan James Robertson, eds., The Ante-Nicene Fathers: The Writings of the Fathers Down to AD 325 (repr., Grand Rapids, Mich .: William B. Eerdmans, 1986), vol. III, Latin Christianity: Its Founder, Tertullian, 699–706, par. 5–11.

Leave a comment