BAB IV : St. PAULUS

Tujuh Belas Pejuang Kudus

Seorang utusan iblis

Komentar membingungkan yang pernah dibuat Paulus secara tertulis kepada orang Kristen di Korintus telah memicu perdebatan alkitabiah sejak saat itu. Setelah memberi tahu mereka tentang beberapa pengungkapan mistik tertentu yang telah dia terima dari surga, dia mencatat bahwa aku diberi suatu duri di dalam dagingku —sebuah kesulitan tertentu yang dengan gigih menghantuinya berulang-ulang, dia berusaha untuk tidak menjadi tinggi hati dengan kesombongan. Dia menyebutnya “utusan iblis” atau lebih harfiah, “malaikat iblis” (2 Kor 12:7).

Tidak ada orang saat ini yang tahu pasti apa yang sebenarnya Paulus bicarakan. Spekulasi-spekulasi tentang sifat “duri” ini sangat beragam: [bisa saja] penyakit fisik atau kecacatan, depresi kronis atau masalah psikologis lainnya, hubungan sosial yang sulit, kenangan-kenangan masa lalunya yang menghantui sebagai seorang penganiaya Gereja. Kata “malaikat iblis” bahkan mungkin mengindikasikan bahwa ada kekuatan iblis yang diizinkan untuk mengganggunya dengan cara tertentu.

Apa pun sifat sebenarnya dari kesukaran itu, komentar Paulus menunjukkan bahwa dia mengakui keterlibatan Iblis di dalamnya. Dan itu membuat kita menghadapi dilema: Bagaimana bisa orang ini yang menjalankan otoritas sebagai rasul yang kuat atas setan-setan bisa menjadi sasaran pelecehan terus-menerus dari Musuh?

Sang Rasul sendiri memberi tahu kita bagaimana hal itu bisa terjadi: Allah mengizinkan “duri” itu untuk membuatnya tetap rendah hati. Dan Allah membiarkan “duri” itu tetap ada untuk mengingatkannya akan ketergantungannya pada rahmat ilahi: Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna’. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku (2 Kor 12:8–9).

Beberapa abad kemudian, St. Augustinus mengamati bahwa “sebagai seorang seniman, Tuhan bahkan menggunakan Iblis”. Warna-warna cerah dalam sebuah lukisan, menurutnya, tampak dengan sangat jelas jika dilihat di samping warna gelap.

Dalam kehidupan Paulus, Tuhan sedang menciptakan sebuah maha-karya dari kasih karunia. Jadi Ia mengizinkan Pangeran Kegelapan untuk membuat bayangan di sana, memungkinkan cahaya surga tampak lebih bersinar.

Misi Berhasil

Setelah pertempuran rohani selama bertahun-tahun, misi Paulus tercapai, dan Komandannya memanggilnya pulang. Menulis kepada murid mudanya, St. Timotius, prajurit tua itu menyatakan, . . .saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman (2Tm 4:6–7).

Pada masa itu, sang pahlawan perang yang kembali pulang menerima mahkota untuk mengakui kemenangan mereka. Paulus memiliki harapan yang kuat bahwa miliknya sedang menanti di surga: “Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya” (ayat 8).

Serangan terakhir oleh Iblis datang, menurut tradisi kuno, sekitar tahun 67 Masehi. Pada saat itu, kaisar Nero yang jahat— seorang pria yang dikendalikan oleh iblis — menyuruh Paulus dipenggal. Tetapi iman prajurit itu tetap teguh sampai akhir saat dia menghadapi kepulangannya: Tuhan akan melepaskan aku dari setiap usaha yang jahat. Dia akan menyelamatkan aku, sehingga aku masuk ke dalam Kerajaan-Nya di sorga”, kata Paulus. “Bagi-Nyalah kemuliaan selama-lamanya! Amin (2Tm 4:18).

Tentu saja, St. Paulus bukanlah satu-satunya korban kemurkaan Nero. Kaisar yang sangat keji ini membuat St. Petrus disalibkan secara terbalik, dan dia melancarkan kepada orang-orang Kristen di Roma penganiayaan yang kejam yang kengeriannya pasti telah membuat setan senang.

Perhatikan satu contoh dari serangan kejinya terhadap Gereja: Setelah penangkapan dan penyiksaan mereka, banyak orang Kristen dibungkus dengan kain yang telah direndam dalam ter dan bahan-bahan lain yang sangat mudah terbakar. Kemudian mereka diikat atau dipaku pada tiang kayu yang didirikan di taman kaisar. Ketika para tamunya tiba untuk menikmati pesta makan malam, orang-orang Kristen dibakar untuk dijadikan lentera untuk menerangi suasana pesta tersebut.

Dapatkah inspirasi-inspirasi untuk melakukan kebiadaban seperti itu datang dari tempat lain? Kecuali dari neraka.


Leave a comment