Epilog

Kebiasaan Orang Katolik

Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7).

Mintalah, carilah, ketoklah. Kita mungkin yakin bahwa Dia tidak hanya menuliskan daftar metafora kuno untuk doa. Kemungkinan besar Dia menggambarkan apa yang akan dikenali semua orang sebagai rencana perjalanan ziarah ke kota suci. Peziarah memulai dengan menanyakan (ask) jalan. Mereka melakukan perjalanan untuk mencari tujuan mereka: mereka mencari. Dan mereka tiba saat mereka mengetok gerbang-gerbang kota.

Cara orang Kristen berdoa adalah cara seorang peziarah. Dalam Khotbah di Bukit itulah Yesus membuat hubungan ini. Yesus memberikan ajaran-Nya tentang ziarah segera setelah Ia menguraikan pedoman-Nya untuk disiplin doa, puasa, dan sedekah (lih. Mat 6). Dari kata-kata ini, semua devosi Katolik telah muncul, dalam segala kekayaan dan keragamannya. Kita belum mulai menghabiskan kemungkinan-kemungkinan untuk mengungkapkan cinta, pujian, ucapan syukur, kerinduan, keajaiban, dan penyesalan kita.

Yesus meninggalkan kita sesuatu untuk dilakukan. Dia meninggalkan kita tidak hanya dengan keselamatan yang sudah jadi dan terbungkus [bagaikan] hadiah, dengan semua pertanyaan kita terjawab dan semua penderitaan kita berhenti. Sebaliknya, Dia meminta kita untuk mengikuti-Nya di sepanjang jalan —jalan sempit, ke gerbang sempit— dalam petualangan yang mulia. Jalan-Nya membawa kita menuju kemuliaan, tetapi hanya melalui Kalvari. Kita tidak benar-benar tahu apa yang menanti kita di tikungan jalan berikutnya; tetapi kita tahu bahwa Tuhan beserta kita dan Dia akan menjawab kita ketika kita meminta (ask : bertanya), mencari, dan mengetok—seperti yang kita lakukan dengan cara-cara lama yang sudah biasa.

Sepanjang hidup kita, kita berziarah. Saya memulai buku ini dengan kisah perjalanan larut malam saya ke salib, Rosario larut malam saya di jalan-jalan lingkungan saya. Bagaimanapun, saya datang untuk belajar, bahwa identitas saya sebagai seorang musafir tidak sesekali, tetapi semi-permanen. Karena kita tidak lagi melakukan perjalanan ke kota duniawi, seperti yang dilakukan murid-murid Yesus pada abad pertama. Yerusalem kita di atas sana, dan kita akan meminta, mencari, mengetok sampai kita [tiba] di sana. Kita tidak lagi mencari bait suci duniawi; karena Allah sedang membangun kita, melalui doa kita, sebagai bait surgawi.

Jadi buku ini berakhir saat dimulai. Saudara-saudariku terkasih, kita adalah anak-anak Tuhan sekarang, tetapi kita belum pulang. Tuhan adalah Bapa kita, tetapi Dia ada di surga. Itu sebabnya kita menghadapi krisis, untuk mengingatkan kita bahwa kita adalah peziarah, masih dalam perjalanan. Bapa menggunakan momen-momen ini untuk mengubah kita, untuk mempercepat kita di sepanjang jalan, untuk mengubah para peziarah menjadi orang-orang kudus.

Kita meminta, mencari, mengetok. Kita berangkat dengan cara peziarah kita. Kita menemukan kasih karunia yang kita butuhkan—walaupun tidak selalu kasih karunia yang kita inginkan, atau kasih karunia yang kita harapkan. Kita menerima kasih karunia yang akan diberikan Bapa yang sempurna kepada anak-anaknya yang sedang dalam perjalanan pulang.


Leave a comment